Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Pungutan Program Restrukturisasi Perbankan, LPS Beri Tenggat 3 Tahun

Kompas.com - 21/08/2019, 19:38 WIB
Murti Ali Lingga,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

NUSA DUA, KOMPAS.com - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan tidak secara langsung memungut premi tambahan dari bank untuk Program Restrukturisasi Perbankan (PRP). Namun, masih memberi tenggat atau masa transisi selama tiga tahun setelah kebijakan tersebut diteken.

Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, aturan premi tambahan untuk PRP sudah dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (PP). PRP sendiri merupakan turunan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 mengenai Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

"Namun pelaksanaan PRP itu tidak segera, karena setelah ditandatangani oleh Presiden, pengenaan PRP baru tiga tahun mendatang," kata Halim ditemui di The Ritz-Calton, Bali, Rabu (21/8/2019).

Baca juga: LPS Perkuat Kesiapan Pelaksanaan Resolusi Bank

Halim menyebutkan, pihaknya sudah merampungkan pembahasan dan menyerahkan naskah aturan tersebut ke pemerintah. Kini, LPS bersama Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menunggu respon dari Presiden atas Rancangan PP tersebut.

"Mudah-mudahan dalam waktu dekat PP-nya selesai. Sekarang (naskahnya sudah) di Presiden," ujarnya.

Dia menuturkan, pihaknya telah membuat dasar hukum untuk penerapan PRP kedepannya. Selian itu, LPS tengah melakukan sejumlah persiapan, termasuk membangun unit khusus Kantor Restrukturisiasi Perbankan yang dipimpin oleh seorang direktur eksekutif.

Bahkan merekrut SDM yang mumpuni dan berpengalaman untuk membuat kebijakan serta instrumen dalam rangka menyelamatkan sistem keuangan jika terjadi krisis.

"Kalau kondisi normal kita siap jika terjadi apa-apa, kita siap 100 persen. Kalau krisis, kita sedang mengejar upaya agar kita bisa benar-benar siap 100 persen. Kami juga sering simulasi jika terjadi krisis," tambahnya.

Baca juga: Era Banking 4.0 Jadi Peluang Perbankan Lebih Berinovasi

Premi tambahan untuk PRP merupakan wewenang yang diberikan kepada LPS sesuai yang termaktub dalam Undang-Undang PPKSK Nomor 9 Tahun 2016. LPS diperbolehkan mengenakan premi PRP kepada industri perbankan sebagai dana talangan untuk selamatkan industri perbankan jika terjadi krisis.

Pada naskah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui konsultasi dengan LPS menetapkan premi besaran premi antara 0 persen hingga yang maksimal adalah 0,007 persen dari total aset bank.

Bank yang wajib membayar premi PRP itu hanya bank dengan nilai aset di atas Rp 1 triliun. Sedangkan, bank yang memiliki aset di bawah Rp1 triliun dikenakan tarif nol persen alias gratis

Sebelumnya, Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan, menyebutkan, nantinya akan ada dua premi yang perlu dibayar industri perbankan, yakni premi simpanan dan premi PRP. Namun, usulan mengenai besaran premi PRP tersebut belum ditentukan.

"Kita perlu konsultasikan dahulu, karena kami juga tidak ingin membebani industri perbankan," kata Fauzi seusai Sosialisasi Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) di Jakarta, Kamis (23/6/2019).

Penerapan premi PRP rencananya hanya akan dikenakan pada bank berdampak sistemik. Menurut Fauzi, penerapan premi PRP tersebut masih membutuhkan waktu lama. LPS perlu mengajukan perubahan pada Peraturan LPS mengenai besaran premi.

Selain itu, besaran premi PRP yang akan diusulkan LPS juga harus dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga pelaku industri perbankan. "Setelah peraturannnya selesai juga belum tentu langsung diterapkan premi itu. Biasanya masih membutuhkan waktu," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com