Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indef: Aturan Cukai Hasil Tembakau Tak Optimal Dongkrak Penerimaan Negara

Kompas.com - 28/08/2019, 22:52 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penetapan tarif cukai hasil tembakau tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara.

Sejumlah celah yang ada dalam berbagai peraturan tersebut membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, ada tiga temuan utama dari hasil kajian Indef terkait kebijakan cukai rokok. Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodir persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan.

PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Golongan tarif tersebut disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil.

Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.

Baca juga: KPK Didorong Telusuri Celah Sistem Cukai Rokok

“Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan (level playing field),” kata Tauhid dalam keterangannya, Rabu (28/8/2019).

Kedua, dari hasil penelitian sampai April 2019, Indef menemukan bahwa dari tujuh perusahaan rokok multinasional, terdapat indikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah telah mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp 50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar.

Namun dalam Undang-undang Cukai Nomor 39 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai turunannya tidak terdapat kategori soal skala usaha industri rokok. Skala usaha industri rokok hanya mengacu pada jumlah produksi rokok.

Ketiga, keberadaan 'diskon rokok' yang menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tidak berkeadilan. Tauhid mengatakan diskon rokok terjadi salah satunya akibat level playing field yang tidak setara.

Selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, keberadaan diskon rokok juga turut membuat penerimaan negara tidak optimal.

Baca juga: Konsumen Diminta Hati-hati Beli Cairan Rokok Elektrik Tanpa Pita Cukai

Dari 1.327 merek rokok yang diteliti pada April 2019, sebanyak 46,8 persen diskon terjadi pada sigaret kretek mesin yang membayar tarif cukai golongan yang rendah

“Diskon banyak dilakukan oleh pelaku dengan tingkat persaingan besar,” ujar Tauhid.

Adanya potensi optimalisasi penerimaan negara dari pajak penghasilan rokok hingga Rp 1,73 triliun jika kebijakan ini dikaji ulang pada tahun ini. Rinciannya, pajak penghasilan dari rokok yang dijual 85 persen di bawah HJE sebesar Rp 467 miliar dan pajak penghasilan dari kebijakan HTP antara 85 sampai 100 persen terhadap HJE sebesar Rp 1,26 triliun.

Berdasarkan temuan di atas, Tauhid menjelaskan, Indef mengajukan tiga rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, melakukan langkah korektif dengan mengkaji kembali struktur tarif cukai.

Kedua, menempatkan instrumen “tegas” pada produsen rokok yang memanfaatkan batasan produksi dengan cara penciptaan merek baru dan afiliasi produksi. Dan ketiga, menerapkan kebijakan HTP sama dengan HJE atau mempersempit wilayah survei dari saat ini sebanyak 40 kota. (Elizabeth Adventa)

Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Indef: Aturan cukai hasil tembakau tidak optimal dongkrak penerimaan negara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com