Menurut dia, Adidas hanya menjual sepatu dengan berbagai fitur yang ada. Sementara, Nike lebih dari itu. Meski sama-sama menjual sepatu, namun Nike menyediakan fitness wearables yang bisa menampilkan data fisik penggunanya.
Hal itu, kata Rhenald Kasali, membuka business opportunity baru sehingga menjadikan sepatu buatan Nike bagian dari business wellness yang sekaligus membongkar cara bisnis industri farmasi.
Nah, orkestrasi yang berhasil Iphone dan Nike kembangkan itu, kemudian menginspirasi Rhenald Kasali dalam pembuatan buku #MO tersebut. Ia mengaku selama penyusunan buku ini, dirinya melakukan orkestrasi dengan para millennial.
“Zaman sekarang intangible asset perusahaan adalah kaum millennial. Jangan lupakan millennial untuk dilibatkan, seperti proses pembuatan buku ini. Saya dibantu 20 millennial dan bertindak sebagai orkestrator.”
Bukan hanya orkestrasi, Rhenald Kasali menjelaskan salah satu ciri era MO adalah munculnya mobilisasi berbagai isu melalui media sosial (medsos) dengan menggunakan tagar.
“Gerakan gerakan 212, #SaveAudrey, #UninstallBukaLapak, #IceBucketChallenge, #MeToo, sampai Single’s Day yang menghasilkan ratusan triliun rupiah dalam sehari,” ujar dia.
Rhenald Kasali mengatakan, upaya mobilisasi itu dimulai dari hal-hal sepele, kemudian membesar hingga menciptakan gerakan mobilisasi yang diikuti banyak netizen. Ada satu-dua yang dampaknya positif. Namun banyak juga yang bersifat sebaliknya.
Upaya mobilisasi ini, kata dia, bisa berakibat gagalnya bangsa-bangsa melanjutkan pembangunan, bahkan kehilangan reputasi dan dukungan publik.
Rhenald mencontohkan mobilisasi ini pada kasus orangutan yang ditembak di Sumatera. Isu tersebut kemudian membesar dan bahkan menjadi “isu internasional” hingga muncul kampanye anti-minyak kelapa sawit (CPO) dari Indonesia oleh Uni Eropa.
“Bisa jadi, yang terlibat dalam isu tersebut adalah anak-anak muda Indonesia. Namun hal itu kemudian ditangkap oleh Uni Eropa sebagai bahan untuk menghambat derasnya ekspor CPO Indonesia,” kata dia.
Contoh lainnya, adalah bagaimana netizen ramai-ramai menyuarakan “unistal Bukalapak” di medsos. Ini terjadi setelah si pendiri marketplace tersebut, Achmad Zaky menuliskan di akun Twitter-nya tentang rendahnya anggaran R&D di Indonesia dan harapannya terhadap Presiden baru (terpilih).
Cuitan itu direspons beragam oleh netizen melalui mekanisme sharing-shaping. Hingga akhirnya netizen termobilisasi dan melakukan kampanye melalui tagar #UnistalBukalapak.
Menurutnya, tentu banyak yang berkepentingan dengan kampanye tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan itu berusaha memanfaatkan isu yang sedang hangat dibahas netizen untuk mewujudkan kepentingannya.
“Inilah mobilisasi. Gerakan besar yang muncul di kalangan netizen guna merespon sebuah isu. Namun demikian, hal itu tidak selalu steril dari kepentingan,” tegas Rhenald Kasali.
Rhenald Kasali menyatakan mobilisasi dan orkestrasi tak terjadi begitu saja. Kedua hal ini muncul sebagai wujud dari revolusi industri 4.0.
Dalam revolusi industri 4.0, mesin dan segala benda, baik buatan alam maupun manusia sama-sama terhubung dengan manusia dari segala belahan dunia.
Mobilisasi dan orkestrasi merupakan bagian dari interconnected society yang timbul karena ada enam pilar teknologi, yaitu Internet of Things (IoT), Cloud Computing, Big Data Analytics, Artificial Intelligence, Super Apps, dan Broadband Infrastructure.
Meskipun gejala-gejala mobilisasi dan orkestrasi tersebut kian jelas, masih saja ada yang gagal paham karena ketidaktahuan dan terperangkap oleh paradigma lama.
“Karena itulah kita membutuhkan lensa baru untuk meneropong apa yang sebenarnya tengah terjadi agar tidak terjadi gagal paham,” jelas Rhenald Kasali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.