Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarif Cukai Rokok Naik, Bagaimana Persaingan di Industri Saat Ini?

Kompas.com - 10/09/2019, 21:40 WIB
Murti Ali Lingga,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menilai sejauh ini persaingan usaha di industri rokok Tanah Air masih relatif sehat. Belum ada indikasi ke arah persaingan yang tidak sehat.

"Masih cukup sehat, kami tidak pernah terima laporan apapun," kata Komisioner KPPU Kodrat Wibowo di Jakarta, Selasa (10/9/2019).

Kodrat mengatakan, pihaknya selama ini selalu mengamati perusahaan yang bergerak di industri rokok dan jumlahnya masih terbilang banyak. Namun, jika terjadi penurunan maka ini menjadi lampu kuning bagi KPPU untuk melihat apakah ada persaingan yang melawan hukum.

Artinya, persaingan tidak sehat tersebut bisa membunuh perusahaan rokok skala kecil oleh yang lebih besar.

"Kami juga udah hitung, memang masih mennunjukan angka 1.500-2.000. Artinya masih moderat sibesar ada sikecil juga ada, sikecil hidup sibesar juga hidup, itu yang kami nilai dari persaingan industri tembakau sampai hari ini," ungkapnya.

Kendati demikian, Kodrat khawatir akan terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antarperusahaan. Ini menyusul perubahan kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

"Kalau karena simplikasi cukai yang seakan justru cenderung mengarah pada pemerosotan kekuatan industri atau kekuatan pangsa pasar hanya dibeberapa pihak saja, maka ini bukan lagi menuju ke arah tujuan diawal tapi persaingan usaha yang mungkin menjadi tidak sehat," jelasnya.

Dia menilai, kebijakan simplikasi dan penggabungan terhadap SKM dan SPM di industri rokok memang baik, yaitu bertujuan meningkatkan penerimaan negara. Namun harus dicermati dengan baik dan seksama bagimana dampak yang akan ditimbulkan.

"Kalau tujuannya ingin penerimaan negara yang lebih optimal, artinya menghindari adanya orang yang menghindari bayar cukai, lewat cara apapun, lewat cukai palsu, atau cukai pada kateegorinya. Saya kira itu masalah administrasi yang bisa diperbaiki," tuturnya.

Ia juga menyampaikan, jika atas kebijakan itu timbul persaingan usaha yang tidak sehat antarperusahaan, maka ini tidak baik untuk kelangsungan industri rokok di Indonesia. Apalagi, jika sifat dari aturan itu tujuannya hanya dalam jangka waktu singkat.

"Setelah adanya persaingan usaha tidak sehat, bahkan misal memurahkan  rokok atau banjiri pasokan supply dengan rokok yang ada, kan malah jadi dissinsentif dengan tujuan awal yang tujuannya meningkatkan penerimaan negara," paparnya.

Sebenarnya, pemerintah akan menaikan tarif cukai rokok tahun depan. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyebutkan tarif cukai rokok 2020 naik lebih dari 10 persen.

Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengatakan, ada beberapa sektor yang menjadi pertimbangan Kemenkeu dalam menentukan tarif cukai.

Pertama, memperhatikan sektor pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok. Kedua, tenaga kerja industri rokok. Ketiga, memperhitungkan keberadaan rokok ilegal.

Selanjutnya, menimbang asumsi dasar ekonomi makro tahun depan seperti inflasi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi.

“Banyak hal yang kami pertimbangkan saat menentukan tarif cukai rokok. Jangan sampai tarif tinggi, tapi rokok ilegal malah marak beredar,” kata Deni seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (9/9/2019).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Whats New
Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Whats New
IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

Whats New
Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Whats New
Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Whats New
Jakarta, Medan, dan Makassar  Masuk Daftar Smart City Index 2024

Jakarta, Medan, dan Makassar Masuk Daftar Smart City Index 2024

Whats New
Pentingnya Transparansi Data Layanan RS untuk Menekan Klaim Asuransi Kesehatan

Pentingnya Transparansi Data Layanan RS untuk Menekan Klaim Asuransi Kesehatan

Whats New
Apakah di Pegadaian Bisa Pinjam Uang Tanpa Jaminan? Ini Jawabannya

Apakah di Pegadaian Bisa Pinjam Uang Tanpa Jaminan? Ini Jawabannya

Earn Smart
Bea Cukai Kudus Berhasil Gagalkan Peredaran Rokol Ilegal Senilai Rp 336 Juta

Bea Cukai Kudus Berhasil Gagalkan Peredaran Rokol Ilegal Senilai Rp 336 Juta

Whats New
Ditanya Bakal Jadi Menteri Lagi, Zulhas: Terserah Presiden

Ditanya Bakal Jadi Menteri Lagi, Zulhas: Terserah Presiden

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Tak Langsung Kerek Suku Bunga Kredit

Ekonom: Kenaikan BI Rate Tak Langsung Kerek Suku Bunga Kredit

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com