Dia menilai, jika dari kebijakan itu timbul persaingan usaha yang tidak sehat antarperusahaan, maka ini tidak baik untuk kelangsungan industri rokok di Indonesia. Apalagi, jika sifat dari aturan itu tujuannya hanya dalam jangka waktu singkat.
"Setelah adanya persaingan usaha tidak sehat, bahkan misal memurahkan rokok atau banjiri pasokan supply dengan rokok yang ada, kan malah jadi dissinsentif dengan tujuan awal yang tujuannya meningkatkan penerimaan negara," ungkapnya.
"Kepentingan ini memang agak sulit pada saat ada kementerian lain, Kemenkes, utamanya itu mengaitkan dengan tujuan kesehatan. Saya kira kalau semua duduk bareng dan memang ditentukan nantinya oleh harmonisasi juga peraturan yang ada, maka roadmap cukai indo ini bisa dilaksanakan/terimplementasi," tambahnya.
Adanya rencana perubahan kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM telah menjadi perhatian publik. Bahkan sejumlah pihak menolaknya.
Sementara itu, peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD), Bayu Kharisma telah melakukan kajian tentang kebijakan cukai rokok dengan skema simplikasi SKM dan penggabungan SPM. Ternyata, simulasi dalam penelitian ini membuktikan jika kebijakan itu belaku maka berpotensi mengurangi penerimaan negara.
Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per-batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.
"Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258 ribu batang per-bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113 ribu batang per-bulan. Pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang," tutur Bayu di Jakarta, Selasa (10/9/2019).