Sejauh ini, garam yang diproduksi di Indonesia bisa saja lebih mahal dibanding garam impor karena masalah logistik.
"Mau tidak mau kita bicara masalah harga kalau di industri. Kalau harga bahan bakunya tinggi, otomatis produk yang kita jual ke masyarakat juga tinggi. Gimana caranya harganya bisa kompetitif sehingga industri kami bisa mengadopsinya," jelas dia.
Belum lagi masalah kualitas. Ribut mengatakan, ada beberapa industri aneka pangan seperti margarin, es krim, bumbu (seasoning), mie, dan snack tidak bisa menggunakan garam dengan kualitas di bawah K1.
Di GAPMMI sendiri, ada beberapa spesifikasi yang harus dipenuhi para pengolah garam lokal. Spesifikasi tersebut meliputi kadar garam natrium klorida (NaCl) tidak boleh kurang dari 97 persen, kadar air kurang dari 0,5 persen, kadar kalsium dan magnesium kurang dari 600 ppm, dan bersih dari bahan pengotor seperti logam, batu, dan kayu.
"Kalau kami pakai bahan yang tidak bersih, itu margarin ada bintik-bintik hitamnya," jelas dia.
"Jadi kalau ditanya bisa nyerap lokal, ya bisa, kalau standarnya sesuai dengan kita. Kalau bicara produk itu tidak seperti industri rumahan. Karena kami punya brand yang sudah lama. Kalau konsumen protes, itu bisa merusak brand yang sudah kita bangun sekian lama," imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.