KOMPAS.com - Sampah non organik perlu penanganan khusus agar tak menjadi ancaman kelestarian lingkungan.
Merujuk laporan Global E-waste Monitor 2017 dari United Nation University (UNU), volume limbah elektronik meningkat 8 persen dari 41,4 juta metrik ton (Mt) pada 2014 menjadi 44,7 juta metrik ton (Mt) pada 2016.
Laporan itu memprediksi, limbah meningkat 17 persen pada 2021 atau mencapai sekitar 52,2 juta Mt, sebagaimana dilansir Kompas.com (15/12/2017).
Adapun benda yang termasuk dalam limbah elektronik di antaranya smartphone, panel surya, kulkas, dan televisi.
Baca juga: Limbah Elektronik di Indonesia, dari Bahaya Sampai Solusinya
Pada 2016, masih berdasarkan laporan itu, hanya 20 persen limbah yang dikumpulkan dan didaur ulang.
Lantas, 4 persen limbah elektronik dibuang ke tempat pembuangan akhir. Sementara itu, 76 persen disimpan di gudang, dibakar, atau didaur ulang oleh lembaga pihak ketiga.
Masyarakat umumnya belum menyadari bahaya limbah elektronik. Padahal, limbah elektronik maupun komponen peralatan listrik mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).
Peduli sampah
Sejumlah daerah di Indonesia mulai serius menangani persoalan sampah, utamanya sampah non organik seperti limbak elektronik. Salah satunya Pemerintah Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Penanganan sampah non organik di wilayah itu dilakukan pemerintah daerah bersama swasta melalui aplikasi Octopus.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan