JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena sandwich generation bagaikan sebuah siklus tiada akhir. Minimnya pengetahuan keuangan menjadi salah satu pemicu utama seseorang terjebak dalam kondisi ini. Hingga akhirnya, banyak hal harus dikorbankan, tak hanya finansial namun juga emosional.
Riza Adiran (25) salah satunya. Sebagai seorang bungsu di keluarga Jawa, dirinya merasa dilimpahi tanggung jawab untuk merawat orang tuanya. Padahal di sisi lain, dia juga sudah memiliki rumah tangga yang harus dihidupi.
"Aku pikir dulu ini tuh cuma masalah kultural aja, tapi kok capek secara fisik, emosi dan finansial, sampai akhirnya aku ketemu bacaan tentang kondisi ini disebut sandwich generation," ujar Riza kepada Kompas.com, Rabu (9/20/2019).
Baca juga: Terjebak dalam Sandwich Generation, dari Mana Akar Masalahnya?
Apa yang dialami oleh Riza merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi di Indonesia sebagai negara dengan kultur kekerabatan yang kuat. Bahkan, hal serupa juga banyak terjadi di negara lain di dunia.
Di Singapura contohnya, sebuah riset yang diinisiasi oleh perusahaan riset pasar Kantar menunjukkan, sebanyak 94 persen dari responden yang menjadi bagian dari generasi sandwich merasa tertekan secara finansial.
Lebih jauh riset tersebut menyebutkan, hampir 80 persen anak muda Singapura merasa mereka akan menjadi bagian dari generasi sandwich berikutnya.
Bahkan, 60 persen dari mereka yang sudah terjebak dalam generasi sandwich ternyata sama sekali belum menyiapkan diri saat pensiun.
Baca juga: Anda Generasi Sandwich? Begini Caranya Menentukan Prioritas Keuangan
Akibat terjebak dalam kondisi sandwiched (terhimpit) di antara dua tanggung jawab finansial itu, akhirnya banyak hal yang harus dikorbankan oleh Riza.
Salah satunya, uang yang sudah dia tabung dari hasil kerja untuk dana pendidikan anaknya kelak harus direlakan untuk hal lain, salah satunya kebutuhan orang tuanya.
Dia pun harus menahan berbagai keinginan pribadinya karena dialokasikan untuk orang tua.
"Meskipun pernah baca di mana gitu memang banyak orang tua yang menjadikan anak investasi and they are doing fine. Sebenarnya nggak papa asal bersepakat dan dibekali pengetahuan finansial yang mumpuni," ujar dia.
Erdita (24) pun mengalami hal yang sama. Dia harus menahan banyak kebutuhan pribadinya karena harus menanggung kebutuhan orang tua dan adiknya.
Terutama, jika ada kebutuhan-kebutuhan mendadak.
"Ini bikin tabungan terguncang," ujar dia.
Baca juga: Kini Hadir Produk Asuransi Khusus untuk Generasi Sandwich
Untuk bisa mengantisipasi itu, kerap kali Erdita melakukan pertimbangan prioritas pengeluaran, dan tentunya kerap kali dirinya harus mengalah.
Sebagai informasi, istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller dan Elaine Brody, di tahun 1981 melalui jurnal dengan judul 'The 'sandwich' generation: adult children of the aging'.
Istilah ini merujuk pada kondisi seseorang yang terjepit pada dua tanggung jawab finansial sekaligus.
Yaitu, tanggung jawab finansial menghidupi keluarga sendiri seperti anak dan pasangan. Juga, tanggung jawab finansial menghidupi orang tua atau keluarga besar seperti adik yang masih sekolah.
Presiden Direktur sekaligus pendiri Jouska.id Aakar Abyasa Fidzuno mengatakan, mata rantai generasi sandwich sendiri bermula karena minimnya pengetahuan keuangan yang diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hal tersebut akhirnya membawa imbas ke masalah lain.
"Rantai dari sandwich generation ini dari ujung ke ujung. Dari mulai kita ngasih uang saku, jadi enggak bisa ngatur duit, hingga akhirnya kita jadi money oriented," ujar Aakar.
Baca juga: Saat Usaha Terkena Masalah Keuangan, Mending Jual Aset atau Pinjam Dana?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.