Seperti halnya konglomerat yang saya jumpai, di Indonesia, saat ini rata-rata usia mereka sudah di atas 60 tahun. Di industri perbankan, kelompok ini yang mendominasi segmen nasabah affluent. Punya duit banyak dan pengaruh yang kuat.
Para pengusaha ini adalah kelompok yang sempat menikmati era emas industrialisasi yang booming di era 1980an hingga 1990an, sebelum akhirnya redup oleh krisis 1998 ketika Soeharto lengser.
Satu per satu dari mereka kini mulai meninggalkan kursi eksekutif perusahaan untuk dilanjutkan oleh ke penerusnya. Baik oleh anaknya sendiri maupun profesional yang bisa menjaga agar perusaaan terus berjalan.
Sementara pada saat yang sama, juga muncul perubahan besar di berbagai ranah industri. Digitalisasi telah mengubah banyak business model di berbagai sektor.
Pun dengan bisnis utama yang selama ini menjadi tulang punggung perusahaan, pelan-pelan menjadi tidak relevan.
Istilahnya the main is no longer the main (Rhenald Kasali, 2019).
Beberapa pekan sebelum ini, saya bertemu dengan sejumlah pegiat startup. Penampilannya santai. Pakai kaos oblong dan celana jeans. Bekerja juga cukup dari kafe dan tak harus berkantor.
Mereka sangat welcome dengan orang-orang baru. Bahkan dengan pendiri startup lain yang bergerak di segmen serupa, komunikasinya tampak cair.
Anak-anak muda itu tidak sekaya pemilik perusahaan besar. Bahkan di antara mereka sibuk mencari pendanaan dari investor. Soalnya mau pinjam duit ke bank, mereka tak punya aset sebesar yang dimiliki para pengusaha senior.
Maklum, usia paling tua sekitar 40 tahunan. Meski begitu, mereka punya banyak sekali ide bisnis. Ada yang masih dalam tahap gagasan, namun ada juga yang sudah berjalan.
Alih-alih saling sikut, dan saling mengalahkan seperti orang-orang tua pemilik perusahaan besar itu, anak-anak muda ini punya gairah besar untuk berkolaborasi mengembangkan ekosistem bisnisnya.
Baca juga : Menko Darmin: Konglomerat Makin Kaya, Kita Urusi yang Kecil
Bagi mereka, bukan besarnya aset yang menentukan kesuksesan, namun value dari ekosistem yang dimilik. Semakin berkembang ekosistem, semakin kuat posisi startups. Sekaligus, semakin tinggi valuasinya.
Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana startup yang memiliki ekosistem yang kuat, valuasinya terus berkembang. Bahkan di antaranya menjadi unicorn serta decacorn.
Sebut saja Gojek. Keberadaan startup ini pada awalnya memang hanya untuk mempertemukan mereka yang butuh tumpangan dengan pemilik kendaraan.
Seiring berkembangnya ekosistem, tumbuh segmen pasar lain yang tak sekedar transportasi, yakni pembayaran (payment), jasa kebersihan, perawatan tubuh, laundry, pengiriman barang, hingga pengantaran makanan.