Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Strong Dollar Bisa Perparah Kondisi Ekonomi Global, Mengapa?

Kompas.com - 28/10/2019, 06:40 WIB
Mutia Fauzia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Sumber CNN

NEW YORK, KOMPAS.com - Perekonomian dunia tumbuh melambat. Di masal lalu, ketika dunia mengalami resesi, negara-negara berkembang yang perekonomiannya tumbuh dengan cepatlah yang telah membantu menyelamatnya dunia.

Namun, ada satu hal yang bisa jadi penghalang berulangnya sejarah tersebut, yaitu menguatnya dollar AS terhadap mata uang negara-negara di dunia. Fenomena tersebut biasa disebut dengan strong dollar.

Seperti dikutip Kompas.com dari CNN, ketika petumbuhan ekonomi global melambat, dan ekonomi Amerika Serikat menunjukkan pertanda melemah, investor akan mencari tempat agar uang yang mereka miliki bisa tetap tumbuh.

Pasar negara berkembang, seperti Korea Selatan, Brasil atau India, juga Indonesia memang menjadi negara yang berisio untuk berinvestasi, tapi kerap kali menawarkan imbal hasil yang lebih menarik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jerman atau Amerika Serikat.

Baca juga: 2045, Jokowi Ingin PDB Indonesia 7 Triliun Dollar AS dan Masuk 5 Ekonomi Besar Dunia

Perekonomian negara-negara tersebut kerap kali didorong oleh ekspor dan sangat bergantung pada pergerakan harga komoditas dunia.

Ketika resesi diikuti dengan krisis keuangan, China menjadi negara yang diuntungkan oleh kondisi perekonomian global tersebut. Negeri Tirai Bambu itu bisa tumbuh hingga mendekati 9 persen, didorong oleh konsumsi domestik yang kuat.

"Tanpa China, pertumbuhan ekonomi global bisa negatif di 2009," ujar ekonom Bank of America David hauner dalam keterangan tertulis.

Namun, kondisi perekonomian dunia telah berubah dalam satu dekade terakhir. China kemungkinan tidak lagi sekuat dulu. Ekonomi negara tersebut juga melambat.

Baca juga: Ada Resesi, Disrupsi, dan Ada Porsi Kesalahan Sendiri

Akan sulit bagi negara berkembang untuk membantu menghindari resesi global selama dollar AS terus kuat. Pasalnya, pasar negara berkembang cenderung memiliki utang dalam bentuk dollar AS.

Negara-negara itu, umumnya rentat terhadap pergerakan greenback (julukan bagi dollar AS) yang kuat, karena bisa membuat bunga dari utang menjadi lebih mahal.

Jika dollar AS lebih lemah, bisa meredakan kondisi tersebut dan memungkinkan pasar negara berkembang bisa tumbuh lebih cepat. Hal itu bisa membuat dunia keluar dari risiko resesi pertumbuhan ekonomi global.

Adapun dalam beberapa bulan terakhir, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve telah menurunkan suku bunga yang bisa secara bertahap melemahkan dollar AS.

Namun, dampaknya belum terasa saat ini.

"Negara berkembang bisa 'menyelamatkan dunia' dalam penurunan ini, tetapi saat ini perlu dollar AS yang lebih lemah serta kebijakan The Fed jauh lebih dovish," ujar Hauner.

Baca juga: Sri Mulyani : RI Tak Melulu Harus Respon Setiap Kebijakan The Fed

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya semakin khawatir, bahwa kebijakan suku bunga yang sudah sangat rendah tidak benar-benar bisa merangsang pertumbuhan.

Jepang telah menjadi contoh itu, dan saat ini investor pun mulai membicaarakan mengenai Japanification of Europe.

Sementara Amerika Serikat di sisi lain tumbuh lebih cepat dibanding negara-negara pesaingnya. Namun tetap saja ekonomi Negeri Paman Sam juga tumbuh melambat.

Pekan depan, The Fed akan melakukan pertemuan pejabatnya, dan para ekonom dan analis berasumsi bank sentral akan kembali menurunkan suku bunga mereka sebesar 25 bps. Kemungkinan penurunan suku bunga tersebut, menurun CME FedWatch Tool mencapai 90 persen.

Mata uang umumnya akan melemah ketika ada pelonggaran kebijakan moneter.

Baca juga: The Fed Turunkan Suku Bunga untuk Kedua Kalinya di Tahun Ini

Keluhan tentang kuatnya mata uang Amerika Serikat itu meningkat tahun ini. Mulai dari Presiden Donald Trump hingga kandidat presiden dari Partai Demokrat Elizabeth Warren menilai kuatnya dollar membuat barang-barang AS kurang kompetitif di pasar global.

Sebenarnya, jila dilihat dari ICE US Dollar Index yang kerap menjadi acuan, jika dibandingkan dengan enam negara lain, dollar AS sebenarnya hanya naik 1,6 persen tahun ini. Tetapi jika dibandingkan secara spesifik per mata uang, menunjukkan gambaran yang berbeda.

Dollar menguat 1,9 persen terhadap rupee India, 4,1 persen terhadap real Brasil, dan 5,5 epersen terhadap won Korea Selatan sejak awal tahun. Melemahnya mata uang negara berkembang tersebut sebagian besar karena perang dagang.

"Yang memperburuk masalah, utang negara-negara tersebut sebagian besar dalam bentuk dollar AS.  sementara dalam transaksi ekonomi, sebagian besar dari mereka membayar dalam euro," kata Hauner.

Jadi negara-negara tersebut juga secara unik terpapar dengan pergerakan nilai tukar euro-dollar. Tahun ini, mata uang Eropa bersama telah jatuh 3,2 persen terhadap greenback.

Baca juga: Pertama Kali Sejak Krisis 2008, The Fed Pangkas Suku Bunga

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber CNN
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Program Peremajaan Sawit Rakyat Tidak Pernah Capai Target

Whats New
Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Cara Cetak Kartu NPWP Hilang atau Rusak Antiribet

Whats New
Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Produsen Cetakan Sarung Tangan Genjot Produksi Tahun Ini

Rilis
IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

IHSG Melemah Tinggalkan Level 7.300, Rupiah Naik Tipis

Whats New
Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Sempat Ditutup Sementara, Bandara Minangkabau Sudah Kembali Beroperasi

Whats New
Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Sudah Salurkan Rp 75 Triliun, BI: Orang Siap-siap Mudik, Sudah Bawa Uang Baru

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com