Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wamenkeu Sebut Pertumbuhan Ekonomi RI 5,02 Persen Bukan Angka Rendah

Kompas.com - 06/11/2019, 14:34 WIB
Ade Miranti Karunia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perang dagang antar kedua negara maju, Amerika Serikat (AS) dan China jelas memberikan dampak negatif terhadap perekonomian dunia.

Apalagi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diproyeksi berada di angka 3 persen. Setelah beberapa kali sempat terkoreksi proyeksinya.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pun juga ikut terkena imbasnya dari kondisi perang dagang. Seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2019 berada di 5,02 persen.

Bagi Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, angka tersebut masih dianggap tinggi dibanding negara-negara lain.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 5,02 Persen di Kuartal III-2019, Ini Penyebabnya

"Pertumbuhan di tingkat 5,02 persen, itu bukan pertumbuhan yang rendah. Ini adalah pertumbuhan yang seharusnya masih bisa memberikan optimisme yang baik. Banyak negara lain yang penurunan pertumbuhan ekonominya itu jauh lebih steep dari Indonesia," ujarnya dalam sambutan event Indonesia Banking Expo (IBEX) 2019, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Dia memberi contoh, China yang selama ini pertumbuhan ekonominya selalu di atas 10 persen justru anjlok akibat perseteruannya terhadap AS.

"Dan di levelnya, beberapa negara lain seperti Tiongkok sekarang di level 6, turunnya itu dari dua atau tiga tahun yang lalu, turun beberapa basis point. Yang kita tahu, Tiongkok itu biasa double digit, sekarang turunnya ke level 6," katanya.

Meski, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah dari kuartal sebelumnya sebesar 5,05 persen namun pemerintah berupaya mempertahankan angka tersebut.

Karena beberapa tahun terakhir, Indonesia selalu berhasil mempertahankan diangka 5 persen.

Baca juga: Lembaga Riset AS Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi RI, Ini Jawaban BPS

"Khusus Indonesia, pertumbuhannya saya pastikan tetap steady di lima persen. Dan akan kita jaga momentumnya agar tetap sustainable dan ditingkatkan," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan yang melambat dipengaruhi oleh perekonomian yang diliputi ketidakpastian sehingga berdampak pada ekonomi kawasan, baik di negara maju maupun berkembang.

Kendati demikian, pertumbuhan ini lebih baik ketimbang negara-negara lainnya yang penurunannya sudah terlalu curam. Sebut saja China dari 6,5 persen menjadi 6 persen (yoy), AS dari 3,1 persen menjadi 2 persen (yoy), dan Singapura dari 2,6 persen menjadi 0,1 persen (yoy).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com