Artinya model pengembangan bisnis ini harus juga mengedepankan “IPOLEKSOSBUD-HANKAM NKRI”. Sehingga kita tidak terjebak atau masuk kedalam lingkaran yang tidak kita inginkan, yaitu bahwa ketahanan nasional kita tetap dapat tegak dan kukuh, tidak tergoyahkan dengan proses pengembangan penerbangan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 tahun 2016, Indonesia telah sepakat untuk terlibat dalam kebijakan ASEAN Open Sky Policy.
Kebijakan ini merupakan perjanjian multilateral dari sepuluh negara anggota ASEAN untuk menyatukan langit mereka dalam satu pasar penerbangan tunggal. Artinya, liberalisasi penerbangan untuk tingkat dan wilayah yang besar.
Namun, prinsip-prinsip cabotage tetap dipertahankan, dan pembukaan bandara untuk penerbangan internasional perlu dibatasi dengan melalui berbagai pertimbangan.
Berkaitan dengan ketahanan nasional, dapat dijelaskan bahwa dengan semakin terbukanya beberapa bandara maka akan ada dampak ikutan yang terjadi.
Selain sisi positif peningkatan arus kunjungan wisata dan lain-lain, kita dihadapkan pada berbagai tindak kriminal seperti peredaran narkotika, human trafficking, terorisme dan lain-lain.
Belum lagi pengaruh asing yang dapat mengakibatkan tergerusnya budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat serta kemungkinan paham politik yang berbeda dengan NKRI.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dengan semakin dibukanya bandara-bandara baru untuk penerbangan internasional, maka arus barang dan manusia antar-negara akan semakin tinggi.
Pengawasan yang dilakukan tidak akan cukup efektif jika semakin banyak bandara yang menjadi tujuan langsung penerbangan internasional.
Dalam hemat penulis, untuk negara kepulauan seperti Indonesia maka cukup hanya beberapa bandara besar (5 bila dianggap cukup) yang menjadi bandara internasional.
Di samping untuk meningkatkan pengawasan, juga untuk mendorong maskapai penerbangan domestik menjadi operator utama di negeri sendiri.
Selain isu ketahanan nasional, hal lain yang perlu diwaspadai dari kebijakan langit terbuka ini adalah keselamatan penerbangan itu sendiri. Jika penerbangan internasional akan diberlakukan untuk bandara-bandara seperti Labuan-Bajo, Banyuwangi, Silangit dan lain-lain maka harus dilihat kembali apakah bandara-bandara tersebut telah dilengkapi dengan fasilitas keselamatan yang sepadan dan mencukupi.
Dalam skenario terburuk kecelakaan pesawat jenis B 737 dengan penumpang 180 orang, maka di sekitar bandara tujuan harus memiliki fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan ruang ICU yang dapat menampung sejumlah penumpang yang membutuhkan.
Jika faktor fasilitas pendukung tidak dapat terpenuhi, maka bandara-bandara yang digadang-gadang sebagai bandara internasional baru ini bisa berpotensi memunculkan catatan buruk terhadap bandara di Indonesia.
Sebagai penutup, pengembangan penerbangan sipil Indonesia untuk mendukung pembangunan nasional dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani sangat tepat.
Namun hal tersebut harus dikaji secara cermat mengenai dampak untung dan ruginya seperti yang disampaikan diatas terkait dengan ketahanan nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.