Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perajin Batik Lokal Kian Tergerus Batik Impor

Kompas.com - 17/11/2019, 08:54 WIB
Kiki Safitri,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Di Indonesia ada banyak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang potensial mampu untuk berkembang di pasar domestik.

Namun saat ini, ragam produk impor yang membanjiri Indonesia membuat beberapa produk lokal menjadi lesu.

Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mencontohkan, batik merupakan salah satu produk UMKM yang tergerus oleh munculnya batik impor. Hal ini mengingat batik impor memiliki harga yang cenderung lebih murah dengan kualitas yang tak jauh berbeda daripada batik kreasi lokal.

“Memang ada beberapa industri yang sekarang memiliki persoalan cukup akut seperti batik yang mostly impor dan batik impor itu hasil mesin yang tidak mampu menyaingi punya lokal. Karena secara cost, itu jauh sekali bedanya," kata Enny kepada Kompas.com, Jumat (15/11/2019).

Baca juga: Kemenperin Dorong Industri Tenun dan Batik Genjot Daya Saing

"Padahal sekilas mata, modelnya sama. Jadi kalau kita enggak bisa optimalisasi sektor hulunya, sudah pasti garmen dan tekstil kita bisa kalah saing,” imbuhnya.

Enny menjelaskan, kalau dari sektor potensial industri yang tidak rentan terhadap gejolak adalah produk yang unik. Di Indonesia yang cukup besar adalah yang berbasis kreatifitas dan budaya.

Akan tetapi, kendala yang muncul adalah sisi produksi dan pemasaran yang kurang difasilitasi.

“Yang menjadi persoalan adalah batik terkendala dari sisi produksi dan pemasaran. Intinya kalau ini bisa difasilitasi, maka enggak hanya mereka yang mampu bersaing dalam negeri tapi juga mereka bisa menjadi komoditas ekspor,” jelas Enny.

Baca juga: Tembus Jepang dan Eropa, Ekspor Batik Lampau 58 Juta Dollar AS

Selain batik, industri lokal yang tumbuh di Indonesia adalah di sektor makanan dan minuman (mamin). Sayangnya sejauh ini bahan baku industri mamin masih menggunakan bahan baku impor.

“Kalau industri yang tumbuh itu makanan dan minuman sebesar 8 persen sedangkan yang lainnya hanya 4 persen. Permasalahannya industri makanan juga bahan bakunya impor,” jelas Enny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com