Hingga saat ini masih terjadi perdebatan antara pengelola BIJB dan Husein terkait rute penerbangan. Diperlukan keputusan dari pemangku kepentingan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dengan mengedepankan efektivitas, efisiensi, dan keselamatan penerbangan.
Kedua, pembangunan landasan udara Wirasaba di Purbalingga yang dicetuskan oleh menteri BUMN periode lalu, Rini Sumarno.
Bandara Wirasaba merupakan bandara yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan militer TNI Angkatan Udara dengan panjang landasan terbatas.
Studi pengembangan bandara ini perlu dikaji secara lebih cermat dan tepat, tidak hanya dari kepentingan pemerintah daerah, tetapi harus dilihat secara menyeluruh.
Secara ringkas, pengembangan bandara ini tidak cukup efektif dan cukup berisiko jika dilihat dari sisi keselamatan penerbangan. Penyebabnya karena jarak Bandara Wirasaba dengan Bandara Tunggul Wulung di Cilacap, sebagai bandara terdekat, hanya sekitar 60 kilometer.
Padahal, jarak ideal sebuah bandara komersial dengan bandara komersial lainnya adalah dua lingkaran ADC (Aerodrome Control) atau 2 x 30 NM (nautical mile) atau sekitar 108 kilometer.
Persoalan jarak ini masih ditambah dengan banyaknya obstacle di sekitar lokasi landasan udara Wirasaba.
Jika pengembangan bandara sangat diperlukan, pemerintah dapat memfokuskan pada beberapa bandara yang telah ada, misalnya Tunggul Wulung, Tasikmalaya, Pangandaran, BIJB, Penggung di Cirebon yang semuanya masih beroperasi secara komersial.
Ketiga, bandara baru di Samarinda. Jika dilihat dari kondisi faktual Bandara Samarinda lama dengan banyaknya obstacle, memang tepat jika dibangun bandara baru untuk menggantikan bandara lama tersebut.
Namun, jika dilihat dari keberadaan Bandara Sepinggan di Balikpapan, keberadaan bandara baru di Samarinda ini dapat memunculkan persaingan dan inefisiensi.
Ditambah lagi dengan rencana pembangunan ibu kota baru, akan semakin mengurangi kegiatan penerbangan di Samarinda, dengan perlunya peningkatan fasilitas dan lain-lain di Balikpapan sebagai bandara Ibu Kota yang baru.
Sementara itu, secara umum untuk konteks pengembangan bandara di kawasan Indonesia Timur, perlu pengkajian kembali. Beberapa bandara di Indonesia timur, khususnya Papua, Kalimantan Utara, Maluku, dan Sulawesi, di antaranya ada yang terkendala secara geografis, demografi dan cuaca sehingga pengembangan tidak efisien, tetapi merupakan pemborosan. Seyogianya untuk bandara tersebut dicarikan lokasi lain yang lebih ideal.
Pengembangan bandara, khususnya pembangunan bandara baru, harus melalui kajian yang matang. Melibatkan berbagai disiplin ilmu, masyarakat pemakai jasa, serta Kementerian Perhubungan sebagai regulator.
Dalam hal ini pejabat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara harus memiliki visi sebagai Aviation Personnel yang profesional sehingga benar-benar mengetahui apa yang diperlukan agar pembangunan atau pengembangan bandara sesuai dengan yang diharapkan. Untuk membangun sebuah bandara yang ideal, perlu memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: