Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desa Fiktif, Diperdebatkan Antar-Kementerian hingga Dana Desa Dibekukan

Kompas.com - 20/11/2019, 09:35 WIB
Mutia Fauzia,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik desa fiktif kembali muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan di depan komisi XI mengenai realisasi penyaluran dana desa pada 4 November lalu.

Ia mengungkapkan, kemunculan desa fiktif ini tidak lepas dari derasnya kucuran dana desa yang resmi disalurkan pemerintah setiap tahunnya. Bahkan, menurut laporan yang ia terima, banyak desa baru tak berpenduduk yang sengaja dibentuk agar bisa mendapatkan kucuran dana desa secara rutin.

"Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," kata Sri Mulyani, saat itu.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut nyatanya dibantah oleh koleganya sendiri di internal pemerintahan, baik di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT).

Meski enggan menyebut desa fiktif, pihak Kemendagri mengakui keberadaan desa-desa dengan administrasi desa yang tak lengkap bahkan cacat hukum.

Baca juga : Verifikasi Desa Fiktif di Konawe Ditarget Rampung Akhir 2019

Berikut fakta-fakta terkait desa fiktif dan aliran dana desa yang dirangkum oleh Kompas.com:

1. Dibantah Menteri Desa dan Kemendagri

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar membantah kabar adanya desa fiktif yang menerima anggaran dana desa. Menurut Abdul Halim, kementeriannya telah melakukan penelusuran terkait dugaan keberadaan desa fiktif ini.

"Sejauh ini belum ada," kata Mendes di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (8/11/2019).

Halim menyampaikan, berdasarkan penelusuran tim Kementerian Desa, ada penduduk yang menghuni desa-desa yang diduga fiktif itu.

Ia mencontohkan Desan Konawe yang diduga sebagai desa fiktif.

Menurut Halim, keberadaan desa itu jelas, ada penduduknya, dan dana desa yang dikucurkan ke sana pun dipertanggungjawabkan dengan baik.

"Kalau yang dimaksud fiktif itu sesuatu yang enggak ada kemudian dikucuri dana, dan dana enggak bisa dipertanggungjawabkan, itu enggak ada," kata dia.

"Karena desanya ada, penduduknya ada, pemerintahan ada, dana dikucurkan iya, pertanggungjawaban ada, pencairan juga ada, sehingga saya bingung yang namanya fiktif namanya bagaimana," ucap Halim.

Hal senada diungkapkan oleh pihak Kemendagri, Direktur Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Kemendagri Benny Irwan memaparkan, seluruh desa yang mendapat aliran dana desa benar-benar ada.

Hanya saja, beberapa di antaranya tidak memenuhi syarat-syarat administrasi yang lengkap.

"Saya mengatakan tidak ada (desa fiktif). Kemarin sudah konferensi pers dengan Kemendagri, jadi desa itu ada, tidak ada desa fiktif. Memang ada desa yang perlu dikuatkan dalam hal-hal administratif," ujar Benny di Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Dia pun mencontohkan beberapa kelengkapan administrasi desa kerap kali luput dan membuat keberadaan desa menjadi dipertanyakan. Misalnya persoalan adanya pejabat desa yang meninggalkan desanya dan pencatatan penduduk yang tidak sesuai dengan undang-undang.

Hal tersebut terungkap berdasarkan hasil verifikasi oleh tim Kemendagri di desa-desa yang diduga fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Selatan.

2. Verifikasi Desa Secara Menyeluruh Sulit Dilakukan

Pihak Kemendagri menilai, proses verifikasi data administrasi data administrasi desa dan evaluasi dana desa yang dialirkan ke 74.593 desa sulit dilakukan. Benny menilai, jumlah tersebut amat besar sehingga dibutuhkan waktu yang panjang dan anggaran yanng tak sedikit.

Baca juga : Kemendagri: Tidak Ada Desa Fiktif, Hanya...

"Tadi pagi kami mau siapkan evaluasi desa ini dilakukan. Itu didasarkan pada UU nomor 6 tahun 2014. Ada lebih dari 100 item yang harus dicermati bagaimana desa itu memenuhi persyaratan administratif," ujar Benny.

"Jadi waktunya enggak bisa cepat. Anggaran enggak bisa kecil. 74 ribu lebih desa. Mengevaluasi itu butuh waktu yang panjang dan secara bertahap dilakukan," lanjut dia.

Adapun berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada sejumlah persyaratan suatu wilayah disebut desa, salah satunya jumlah penduduk minimal.

Untuk wilayah Jawa, penduduknya harus minimal 6.000 jiwa atau 1.200 kepala keluarga (KK), Sulawesi minimal 2.000 jiwa atau 400 KK, hingga Papua dan Papua Barat minimal 500 jiwa atau 100 KK.

3. Aliran Dana Desa ke Desa Fiktif Dibekukan

Kementerian Keuangan ( Kemenkeu) membekukan aliran dana desa tahap tiga untuk desa-desa yang diketahui bermasalah. Dana desa tersebut seharusnya cair pada Desember 2019 mendatang. Hal tersebut dilakukan menyusul proses verifikasi administrasi desa yang dilakukan oleh Kemendagri.

"Kan ini kan jalurnya dari RKUN ke RKD tingkat 2 baru masuk ke rekening desa. Nah kami bisanya ke rekening daerah ini yang akan kita freeze sejumlah apa yang akan direkomendasikan Kemendagri," ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Astera pun menjelaskan, dalam proses pencairan dana desa pemerintah pusat menyalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Umum Daerah (RKUD) sebelum akhirnya dipindahbukukan ke Rekening Dana Desa (RKD).

Sejak tahun 2017 hingga 2019 pemerintah pusat telah merealisasikan penyaluran dana desa keempat desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Selatan yang terindikasi fiktif sebesar Rp 9,3 miliar.

Dari total tersebut, baru Rp 4,4 miliar yang diterima oleh keempat desa dan sisanya, Rp 4,9 miliar belum diterima.

Benny pun tidak menutup kemungkinan dana yang disalurkan ke desa-desa tersebut bisa ditarik kembali oleh pemerintah pusat jika keempatnya terbukti tidak memenuhi ketentuan administratif desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014.

"Kebijakannya dengan Kemenkeu akan ada perhitungan dengan pemerintah daerah bagaimana terkait uang yang sudah disalurkan," ujar Benny di Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Sebelumnya, tim dari Kemendagri telah melakukan verifikasi dari 56 desa yang diduga fiktif di Kabupaten Konawe. Hasil pemeriksaan menyebutkan, di 56 desa yang diduga fiktif, keseluruhan desa ada keberadaannya, namun dalam proses pembentukannya cacat hukum.

Dari 56 desa yang diselidiki, didapati fakta bahwa 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa, 18 desa masih perlu pembenahan dalam aspek administrasi dan kelembagaan serta kelayakan sarana prasarana desa.

Sedangkan 4 desa yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma, didalami lebih lanjut karena ditemukan inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa.

Benny pun mengatakan, jika data-data administrasi keempat desa yang bersangkutan terbukti tidak valid, maka pemda setempat harus mengembalikan dana desa yang sudah disalurkan.

"Oiya dong (pemerintah daerah yang menanggung)," ujar dia.

Namun Benny mengaku tidak benar-benar mengetahui skema pengembalian dan sumber dari dana yang harus dikembalikan oleh pemerintah daerah. Menurut dia, pihak Kementerian Keuangan dan pemda setempat telah memiliki perhitungan tersendiri.

"Sebenarnya ada banyak cara dan alokasi sumber dari pemda," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com