Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Tak Yakin Indonesia Bakal Resesi akibat Perekonomian Global

Kompas.com - 26/11/2019, 14:26 WIB
Ade Miranti Karunia,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah optimististis bahwa Indonesia tidak akan mengalami resesi pada tahun 2020 akibat imbas dari perekonomian global.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, ketegangan Amerika dan China sudah mereda dan mulai ada titik-titik temu.

"Dengan adanya itu, pasti global demand akan naik. Saya termasuk tidak yakin Indonesia akan terjadi resesi karena ekonomi dunia," ujarnya ditemui dalam diskusi Proyeksi Ekonomi Indonesia 2020 Indef, di Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Selain faktor perang dagang, gejolak demonstrasi adanya penolakan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi dari Hong Kong sudah mulai mereda sehingga dipastikan tanda resesi perekonomian tidak akan terjadi.

"Karena dari tanda-tandanya tadi, seperti Hongkong juga pasti akan selesai pada 2020. Sekarang ini salah satu yang menarik karena pertumbuhan Hong Kong negatif gara-gara demo itu. Global demand akan pulih kembali," ucapnya.

Baca juga : Kuartal III 2019, Ekonomi Singapura Terhindar dari Resesi

Selanjutnya, nilai investasi ke Indonesia akan meningkat dengan adanya omnibus law, penciptaan lapangan kerja, dan undang-undang perpajakan.

"Dengan investasi yang naik, dan juga pengembangan sektor-sektor industri berorientasi ekspor, maka itu 4,8 persen kita sudah resesi namanya," ujarnya.

Bahkan, faktor konsumsi Indonesia tiap tahunnya selalu tumbuh positif dan menjadi penopang tumbuhnya perekonomian Indonesia.

"Dengan pengalaman kita masa lalu, pada 2009, perekonomian kita bisa tumbuh 4,5 persen. Parah banget waktu itu. Apalagi sekarang enggak ada tanda-tanda konsumsi melemah. Bahkan investasi, kita melakukan reformasi-reformasi supaya regulasi kita menjadi simpel. Makanya, ada omnibus law, investasi kita bisa meningkat," tuturnya.

Sementara itu, Institute of Development on Economics and Finance (Indef) menjabarkan gejala resesi ekonomi global, antara lain, adanya fenomena kurva imbal hasil yang terbalik di pasar obligasi Pemerintah AS.

Dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi, The Fed mulai mengoreksi suku bunga acuannya sehingga aliran modal jangka pendek (hot money) kembali datang ke negara-negara pasar berkembang.

Gejolak perang dagang AS-Cina berimbas pada pertumbuhan dan perdagangan dunia. Hal ini terbukti adanya permintaan ekspor melambat terutama pada komoditas yang dibarengi penurunan investasi langsung.

Kemudian, ekonomi Uni Eropa belum mampu bangkit dari zona degradasi, justru malah semakin menunjukkan ke arah pelemahan.

Terakhir, berlanjutnya perlambatan ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China pada 2019 hanya tumbuh sebesar 6,2 persen. Angka ini merupakan level terendah dalam tiga dekade terakhir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com