Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Orang Berduit Bakar Uang, Apa Salahnya?

Kompas.com - 03/12/2019, 10:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Yang tidak bakar duit itu mungkin cuma PT Dirgantara Indonesia, Rumah Makan Mbok Berek, Gado-Gado Boplo, Cwimi Malang, dan pabrik gula Colo Madu.

Tetapi tentu saja tak semua pengusaha atau brand harus bakar uang. Pertama, kalau market sudah terbentuk dan Anda sudah jadi pemimpin pasar. Buat apa bakar duit?

Kedua, kalau nafas tidak cukup panjang. Ketiga, timbang-timbanglah reaksi pelaku yang sudah menjadi pemimpin pasar. Kalau tak kuat, sekali dibalas dengan jab menohok, bisa langsung terkapar.

Dan keempat, lihat juga DNA perusahaan. Jangan dicampur aduk jika struktur, proses dan culture yang dibangun dalam tradisi heavy assets tak sesuai dengan business model yang basisnya adalah light assets.

Jadi dalam beberapa bisnis yang saya kelola, saya tak merasa perlu melakukan hal ini.

Beberapa waktu lalu, saat mendampingi sebuah start up yang akan pitching di Silicon Valley. Saya mengajukan pertanyaan sederhana tentang bagaimana mereka menentukan besarnya investasi.

Baca juga : Ekonomi Dunia Melambat, Menkominfo Minta Startup Jeli

Jawaban mereka sangat beragam. Mayoritas memang menjawab potensi efek jejaring yang dihasilkan (network effect).

Wajar, ini eranya teknologi informasi. Ibarat telepon, kalau hanya satu orang yang memiliki maka nilainya nol. Nah semakin besar yang sudah pegang aksesnya dan berada dalam jaringan itu, maka semakin besar pula nilai dan efek jejaringnya.

Lalu ada pula yang melihat growth, atau potensi untuk dijadikan ekosistem pada platform yang lebih besar (super apps).

Namun untuk mendapatkan itu semua, pemilik awal-lah yang paling banyak berkorban. Dengan masuknya investor baru, maka otomatis persediaan cash “untuk dibakar” tersedia, namun pemilik lama harus mengorbankan sahamnya yang terus terdilusi.

Kini misalnya, Jeff Bezos hanya punya 12 persen di Amazon, Jack Ma (Alibaba) 11,7 persen, dan Ren Zhengfei (Huawei) tinggal 1 persen. Hal serupa juga dialami hampir semua pendiri unicorn Indonesia.

Nafas Panjang Investor Amazon

Jadi sampai di sini mungkin ada nasehat yang bisa saya berikan. Pertama, kalau ada start up yang baru berumur dua atau lima tahun tapi masih rugi, hendaklah kita jangan langsung men-judge bisnisnya tak punya prospek. Anda harus melihat dulu bagaimana network effect-nya. Agar lebih jelas, mari kita simak sejenak perjalanan Amazon.

Perusahaan ini didirikan Jeff Bezos pada Juli 1994 dan baru bisa mencetak profit 35 juta dollar AS pada 2003. Setelah itu rugi lagi. Namun, pada Triwulan IV 2017 Amazon meraih untung 1,86 miliar dollar AS.

Jadi, butuh 58 triwulan atau 14 tahun bagi Amazon untuk mencetak untung yang "lumayan besar". Amazon yang dulu hanya dikenal sebagai pedagang buku online kini merambah kemana-mana, termasuk jasa keuangan dan cloud.

Tapi mereka toh masih gemar bakar duit sampai hari ini. Katanya untuk menciptakan masa depan baru memang harus begitu. Harus mengikuti irama pendapatan masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com