Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Garuda yang Pernah Nyaris Bangkrut

Kompas.com - 10/12/2019, 11:00 WIB
Muhammad Idris,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) belakangan jadi sorotan publik. Ini setelah Menteri BUMN Erick Thohir melakukan bersih-bersih di Garuda buntut kasus penyelundupan moge Harley Davidson dan sepeda Brompton yang dilakukan direksinya.

Sebagai maskapai flag carrier, Garuda Indonesia memiliki catatan sejarah panjang, bahkan sejak perang kemerdekaan saat pesawat jenis Dakota RI-001 Seulawah disumbangkan rakyat Aceh jadi armada pertama Garuda.

Sebagai BUMN, nasib bisnis Garuda Indonesia tak luput dari pasang surut pergantian rezim pemerintah.

Seperti diberitakan harian Kompas, 26 Januari 1999, badai krisis moneter dan tahun-tahun setelahnya jadi masa-masa paling pelik yang dialami perusahaan ini. Perusahaan bahkan hampir bangkrut lantaran beban utang yang terlampau berat.

Utang yang menggunung ini diperparah dengan kinerja keuangan yang buruk dan banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ibaratnya, untuk bernapas pun sulit.

Baca juga: Ini 7 BUMN yang Disasar Erick Thohir dalam Sebulan

Menteri Pendayagunaan BUMN saat itu, Tanri Abeng, sampai turun gunung mencurahkan banyak perhatian supaya perusahaan negara itu jadi prioritas pertama untuk diselamatkan.

Tunjuk Robby Djohan jadi dirut

Langkah pertama yang dilakukannya ialah menunjuk Robby Djohan di pucuk pimpinan Garuda.

"Begitu saya duduk di sini, langsung saya tahu bahwa Garuda Indonesia harus diberi prioritas utama dari BUMN-BUMN lain. Kalau tidak, Garuda akan kolaps. Mungkin tiga atau empat bulan," tutur Tanri Abeng saat itu.

Hingga Agustus 1998, utang Garuda tercatat masih Rp 828 miliar ditambah 377 juta dollar AS kepada 50 bank pemerintah dan asing. Bila kurs dollar Rp 10.000, berarti total utangnya sekitar Rp 4,6 triliun.

Adapun piutangnya hanya Rp 2,7 triliun, berasal dari piutang agen/tiket, allowance para vendor, dan penggunaan jasa Garuda Maintenance Facility (GMF).

Baca juga: Penyelundupan Harley, Erick Thohir Pecat 5 Direksi Garuda Indonesia

Keadaan jadi lebih gawat lagi mengingat sebagian besar pengeluaran dan investasi jangka panjang dibiayai dengan pinjaman jangka pendek. Dari utang tersebut, hanya Rp 346 miliar dan 53 juta dollar AS yang tercatat sebagai utang jangka panjang Garuda.

BUMN ini harus gali lubang tutup lubang mencari utang jangka panjang untuk menutupi utang jangka pendek. Namun, dalam kondisi ketika krisis kepercayaan dipertanyakan, sulit kiranya untuk memperoleh utang yang dicari tersebut.

Terkejut Garuda untung Rp 200 miliar

Kendati dalam kondisi yang sangat sakit, Robby Djohan secara mengejutkkan bisa memperbaiki kinerja Garuda setelah genap tiga bulan mengambil alih kepemimpinan.

Dalam laporan yang dirilis, Garuda Indonesia pada Agustus bisa meraup laba Rp 200 miliar.

Banyak yang tidak percaya mengingat selama bertahun-tahun BUMN ini terkenal selalu merugi.

"Untung! "Uangnya benar ada, bukan rekayasa," kata Robby ketika ditemui di ruang kerjanya menanggapi respons sumir publik saat ini.

Baca juga: Seludupkan Harley dan Brompton, Garuda Harus Bayar Sanksi Rp 100 Juta

Robby menjelaskan, perolehan laba tersebut sebenarnya bukan hal istimewa. Sebab, pada bulan peak season Agustus-September, umumnya Garuda Indonesia memang selalu untung dari penerbangan internasional.

Rata-rata pada bulan peak season itu, load factor Garuda mencapai 87 persen dibandingkan dengan 55-60 persen pada bulan-bulan lain.

Dari pendapatan jalur internasional kedua bulan tersebut, bila dikurskan dengan nilai dollar yang sedang meroket (waktu itu), laba Garuda memang jadi lumayan besar sampai Rp 200 miliar.

Namun, diingatkan pada bulan low season, load factor Garuda hanya berkisar 40-55 persen sehingga angka musim peak season bukanlah patokan. Diakuinya bahwa dirinya bukanlah pesulap yang dapat mengubah Garuda langsung meraup untung seketika.

"Namun, sekarang Garuda sudah enak, sudah gampang. Enggak ada lagi KKN keluarga Soeharto segala itu," lanjut Robby di tengah acara penyerahan enam pesawat baru Boeing 737-300/-500 pada 2 Januari 1999.

Lanjut dia, fungsi manajemen bisa berjalan dengan benar. Program golden handshakes (pensiun dini) pun berjalan dengan lancar sehingga perumahan tahap pertama 1.596 tenaga kerja, dengan total pesangon Rp 110 miliar berlangsung mulus.

Estafet dirut ke Abdul Gani

Setelah kondisi Garuda mulai perlahan membaik, posisi dirut beralih mulus kepada Abdul Gani, yang tentunya dengan persetujuan Tanri Abeng.

"Pak Gani sama saya sudah berkompetisi (di perbankan) selama 30 tahun. Jadi, saya tahu bahwa dia itu enggak orang enteng!" kata Robby Djohan mengenai penggantinya.

Saat itu, kata Tanri Abeng, kredibilitas Garuda sudah mulai pulih sehingga Bank Exim AS dan pabrik Boeing serta Pemerintah Indonesia sendiri mendukung pengadaan Boeing 737 senilai 368 juta dollar AS.

Pengadaannya merupakan refleksi dari kredibilitas direksi dan dewan komisaris Garuda yang baru.

Memuji direksi dan dewan komisaris Garuda, Tanri Abeng mengatakan, pengadaannya tidak mungkin kalau tanpa kredibilitas yang dibangun oleh Garuda Indonesia.

Kredibilitas memang kata kuncinya seperti pernah diucapkan Wiweko Soepono, mantan direktur utama yang pernah pegang kendali Garuda selama 16 tahun (1968-1984).

Baca juga: Cerita Pramugari Garuda Kerja 18 Jam Layani Penerbangan ke Australia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com