Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Potential Loss Penerimaan Pajak karena Omnibus Law, Ini Strategi DJP

Kompas.com - 10/12/2019, 21:28 WIB
Mutia Fauzia,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah memproyeksikan omnibus law perpajakan bakal mulai berlaku tahun 2020 mendatang. Pasalnya dalam revisi peraturan perpajakan tersebut, pemerintah merelaksasi beberapa peraturan perpajakan untuk meningkatkan gairah investasi di Indonesia.

Hal tersebut berpotensi memunculkan risiko kehilangan penerimaan pajak atau potential loss.

Namun demikian, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo pun mengatakan, omnibus law pun di sisi lain bisa memunculkan basis-basis perpajakan baru.

"Kalau misal mau kita lihat peneriman turun, kita akan mencari basis baru, itung-itungannya ada. Waktu tarif turun penerimaan akan turun sekarang bagaimana emncari kompensasinya? Salah satu di antaranya  perluasan basis tadi lewat e-commerce, kalau kita letakkan sebagai pemungut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) kan jadi basis baru tuh," ujar dia di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Misalnya saja, dalam omnibus law pemerintah mengatur mengenai pajak perusahaan digital.

Sebelumnya sebuah badan usaha harus memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) agar bisa dikenakan pajak. Kini, selama perusahaan tersebut digunakan oleh penduduk Indonesia dan melakukan kegiatan dengan nilai ekonomi di Indonesia, perusahaan tersebut bisa memungut PPN kepada penggunanya.

Baca juga: Di Depan Pengusaha, Dirjen Pajak Ungkap Penerimaan yang Seret

 

Selain itu, perusahaan digital tersebut juga harus membayarkan Pajak Penghasilan (PPh) badannya.

"Jadi penyelenggara TV asing, selama ini ngga pernah bayar PPN, nanti kita minta tolong dalam tv asing itu tolong pungutin dan setorin. Jadi sama-sama, nonton TV asing sama TV dalam negeri, sama-sama bayar PPN," ujar dia.

"Kedua berkaitan dengan e-commerce bagaimana memakai tanda kutip penghasilan dia di Indonesia. Karena dia berkegiatan di Indonesia, pasti kita inta bagian pajak yang berasal dari sini. Seberapa besar (pungutan pajaknya), itu yang akan didiskusikan," ujar Suryo.

Selain itu, pemerintah juga meringankan bunga denda perpajakan.

Sebelumnya, apabila wajib pajak membetulkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan mengalami kurang bayar maka akan dikenai sanksi 2 persen per bulan. Dalam 24 bulan, sanksi itu memberatkan karena dapat mencapai 48 persen. Hal tersebut membuat wajib pajak kian enggan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Namun dalam omnibus law, sanksi per bulan akan diturunkan pro rata, yaitu berdasarkan suku bunga acuan di pasar. Untuk mereka yang dengan sengaja menghindari kewajiban perpajakannya, sanksi yang sudah dikurangi tersebut bakal ditambah bunga sebesar 5 persen hingga 10 persen.

"Kemudian melakukan pembetulan (SPT) dengan besaran yang lebih rendah akan mengencourage basis baru, muncul juga sebetulnya," jelas Suryo.

"Secara kalkulasi belum berhitung (potential loss) karena susah, di sisi lain dikompensasi oleh basis pajak baru jadi paling tidak coba mendudukan bahwa yang bayar pajak lebih besar lagi," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Whats New
Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Whats New
IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

Whats New
Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Whats New
Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com