Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Deretan Aturan di Era Susi yang Rencananya Dihapus Edhy Prabowo

Kompas.com - 16/12/2019, 18:51 WIB
Muhammad Idris,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berniat mengkaji ulang sejumlah peraturan yang dinilai menghambat usaha dunia usaha. Kepastian usaha, perlu dibutuhkan para pengusaha dan nelayan.

Kendati demikian, sejumlah gebrakan politisi Partai Gerindra ini justru menuai kontroversi. Dia mengaku sudah melakukan kajian matang merevisi aturan-aturan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ini karena dirinya dianggap mengutak-atik aturan yang dinilai sudah sesuai jalur yang diterbitkan menteri pendahulunya, Susi Pudjiastuti.

Berikut 3 sepak terjang Edhy yang kebijakannya yang dianggap bersebrangan dengan Susi. Ketiga kebijakan tersebut masih dalam kajian sebelum kemudian benar-benar diterapkan lewat penerbitan aturan baru yang merevisi regulasi lama.

1. Membolehkan cantrang

Edhy mengaku telah bertekad bulat untuk mengkaji ulang larangan penggunaan cantrang. Sebelumnya, larangan cantrang dan 16 alat tangkap yang dianggap merusak lingkungan lainnya mulai diberlakukan tahun 2018.

Larangan alat tangkap cantrang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor 2 Tahun 2015 dan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016.

"Wacana cantrang ini lagi dikaji. Sedang berjalan, kita dengarkan semua (pihak)," kata Edhy Prabowo di atas Kapal Pengawas Perikanan menuju Muara Baru, Jakarta, Senin (28/10/2019).

Edhy mengaku, ada sejumlah pihak yang mengklaim penggunaan cantrang tidak merusak lingkungan. Sebab, penangkapan menggunakan cantrang hanya digunakan di laut berdasar pasir maupun berlumpur, bukan di laut berterumbu karang.

Baca juga: Kaji Ulang Cantrang, Edhy Prabowo: Musuh Utama Kita Bukan Nelayan...

Menurut pendapat tersebut, penggunaan cantrang di laut berterumbu karang justru akan merobek cantrang tersebut, bukan merusak terumbu karangnya.

"Ada yang ngomong cantrang benar. 'Maaf, kata siapa cantrang enggak benar? Mana mungkin, Pak, saya punya alat tangkap (cantrang) mau taruh di terumbu karang. Ya robek, lah. Cantrang nangkap untuk dasar laut yang berlumpur saja' katanya," ucap Edhy.

Terkait cantrang, demikian Edhy, ada beberapa kemungkinan, yaitu diperbolehkan, diperbolehkan dengan catatan khusus, atau tetap dilarang.

Cantrang sendiri dilarang pada Era Susi. Alat tangkap ini bersama pukat harimau, purse seine, dan sejenisnya dinilai merusak ekosistem dan sumber daya ikan.

Menurut Susi saat itu, alat tangkap itu bisa mengeruk seluruh isi laut, tak hanya ikan dewasa, bibit ikan pun ikut terjaring. Akibatnya, cadangan ikan dan ekosistem bawah laut bisa habis dieksploitasi.

Larangan penggunaan cantrang ini juga tak lepas dari kontroversi. Bahkan Menko Maritim Luhut Panjaitan menyatakan ketidaksetujuannya terkait aturan tersebut. Karena menurut dia, pelarangan cantran tak memberikan solusi.

2. Hapus penenggelaman kapal maling

Rencana menghapus hukuman penenggelaman kapal juga tengah jadi pertimbangan Edhy. Edhy mengatakan, kapal yang harus ditenggelamkan hanya kapal pencuri ikan yang melarikan diri saat disergap.

Adapun kapal yang ditangkap dan perkaranya mendapat putusan hukum tetap lebih baik diserahkan kepada nelayan untuk dimanfaatkan.

Menurut Edhy, semangat penenggelaman kapal adalah menjaga kedaulatan. Kebijakan itu baik, tetapi tidak cukup untuk memperbaiki pengelolaan laut.

Yang diperlukan saat ini adalah membangun komunikasi dengan nelayan, memperbaiki birokrasi perizinan, meningkatkan budidaya perikanan.

"Kalau hanya sekedar menenggelamkan, kecil buat saya. Bukannya saya takut, enggak ada (takut-takutan). Kita enggak pernah takut dengan nelayan asing. Tapi jangan juga semena-mena sama nelayan kita sendiri," kata Edhy di Menara Kadin, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Baca juga: Penenggelaman Kapal Dihentikan, Jangan Sampai Bos Illegal Fishing Bersorak

Alih-alih menenggelamkan, Edhy justru akan menghibahkan kapal-kapal ikan kepada nelayan sesuai kemampuannya.

Inisiatif tersebut berdasarkan koordinasinya dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Kejaksaan Agung.

"Ini kita serahkan ke nelayan. Semua kemampuan nelayan kita data semua. Ada beberapa hasil pengadilan yang dimusnahkan. Tapi kita lihat lagi yang akan dimusnahkan itu masih memungkinkan untuk disita negara dan direparasi untuk nelayan atau bagaimana," ujarnya.

Selain itu, untuk memastikan kapal-kapal tersebut tak dijual lagi kepada para pencuri ikan, dia akan mengutamakan prinsip kehati-hatian.

3. Membuka ekspor benih lobster

Di era Susi, terbit Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016, tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Larangan inilah yang juga sudah masuk daftar Edhy untuk direvisi. Menurut mantan anggota Komisi IV DPR ini, larangan lobster banyak merugikan nelayan.

Edhy mengaku punya cukup alasan merevisi Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016, tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.

Dikatakannya, angka penyeludupan benih lobster sangatlah tinggi. Ketimbang jadi selundupan yang tak menguntungkan negara, lebih baik ekspor dibuka sehingga mudah dikenalikan.

Baca juga: Edhy Prabowo Sebut Ekspor Benih Lobster Butuh Aturan yang Pasti

Edhy menyatakan, dengan membuka keran ekspor benih lobster dengan terstruktur akan meningkatkan nilai tambah masyarakat yang hidupnya bergantung pada penjualan benih lobster.

Pasalnya, permintaan benih losbter dari Vietnam sangatlah tinggi. Melarang benih lobster keluar dari Indonesia, di sisi lain penyelundupan komoditas tersebut justru meningkat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com