Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

APBN Jelang Tutup Tahun: Defisit Bengkak, Penerimaan Loyo

Kompas.com - 20/12/2019, 07:59 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 30 November 2019.

Berdasarkan data yang dia ungkapkan, pos-pos penerimaan tercatat masih jauh dari target yang ditetapkan APBN, dan defisit pun membengkak meski Sri Mulyani meyakini bakal membaik di akhir tahun.

Hingga November 2019 realisasi penerimaan negara mencapai 1.677,1 trilliun tumbuh 0,9 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 1.662,9 triliun.

Adapun realisasi hingga November 2019 tersebut setara dengan 77,5 persen dari target yang tercantum dalam APBN.

Baca juga: Defisit APBN Rp 369,8 Triliun Per November 2019, Ini Kata Sri Mulyani

Adapun unuk realisasi belanja negara hingga 30 November 2019 tercatat mencapai Rp 2.046 triliun atau 83,1 persen dari target APBN. Angka tersebut tumbuh 5,3 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 1.942,6 triliun.

"Belanja negara masih mampu tumbuh 5,3 persen (yoy) didukung peningkatan penyaluran TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) yang tumbuh 5 persen (yoy), itu di atas pertumbuhan 2018," jelas Sri Mulyani, Kamis (19/12/2019).

Untuk keseimbangan primer, realisasi hingga 30 November tercatat defisit 101,3 triliun. Angka tersebut sudah mencapai 503,7 persen dari pagu yang ditetapkan oleh APBN.

Sebagai catatan, keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

Berikut fakta-fakta terkait APBN.

1. Defisit Rp 369,8 Triliunr

Sri Mulyani memaparkan, hingga 30 November 2019 defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 368,9 triliun.


Adapun target awal pemerintah, defisit APBN tahun ini sebesar 1,84 persen dari PDB. Meski pemerintah telah merevisi target tersebut menjadi sebesar 2,2 persen di akhir tahun.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 279,7 persen atau 1,89 persen terhadap PDB, realisasi defisit tersebut mengalami peningkatan.

"Terjadi pelebaran defisit APBN dari target awal tahun 2019 yang sebesar 1,84 persen. Juga terjadi kenaikan jika dibandingkan dengan tahun lalu," ujar Sri Mulyani ketika memberi keterangan pers di Jakarta, Selasa (19/12/2019).

Baca juga: 5 Hal Baru dalam APBN 2020 yang Berdampak ke Masyarakat

Sri Mulyani pun mengaku optimistis hingga akhir tahun defisit APBN akan membaik. Sebab, hingga 13 Desember 2019, defisit anggaran telah turun menjadi 2,21 persen dari pagu APBN.

Hal tersebut didorong oleh kenaikan pertumbuhan penerimaan pendapatan dan optimalisasi belanja pada akhir tahun.

"Kemungkinan akhir tahun akan ke 2,21 persen hingga 2,22 persen. Jadi tidak mendekati ke 2,3 persen, tapi ke 2,2 persen. Kita lihat lagi ke dua minggu terakhir," ujar dia.

2. Pembiayaan Utang Bengkak

Defisit keseimbangan primer yang mencapai defisit lima kali lipat dari target yang sudah dianggarkan, artinya masih harus berutang untuk membayar utang. Namun jika surplus berarti untuk membayar utang-utang lama pemerintah tidak perlu menambah utang baru.


Dengan demikian, pembiayaan utang pemerintah pun membengkak. Hingga November 2019 pembiayaan utang pemerintah mencapai Rp 442 triliun. Angka itu di atas target pembiayaan tahun ini yang hanya Rp 359 triliun atau 123,3 persen dari pagi yang ditetapkan dalam APBN.

Pembiayaan tersebut juga naik 21,8 persen dibandingkan November 2018 lalu.

"Realisasi pembiayaan utang ini karena ada front loading (penerbitan surat utang pada awal tahun). Jadi akhir tahun sudah fully funded," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Per Oktober, Utang Luar Negeri RI Bertambah Jadi Rp 5.606 Triliun

3. Penerimaan Pajak Loyo

Sri Mulyani memaparkan hingga 30 November 2019 realisasi penerimaan pajaktercatat sebesar Rp 1.136,17 triliun atau sebesar 72,02 persen dari pagu yang dianggarkan dalam APBN yang sebesar Rp 1.577,56 triliun.


Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, realisasi pajak tersebut turun 0,04 persen. Seretnya penerimaan pajak menjelang akhir tahun diakibatkan realisasi penerimaan pajak di sektor migas yang loyo.

"Kalau kita lihat PPh ( Pajak penghasilan) mengalami kontraksi, ini karena liftingnya turun, harga minyak lebih rendah, dan kurs menguat," jelas Sri Mulyani.

Jika dirinci, realisasi penerimaan pajak migas hingga akhir November 2019 tercatat sebesar Rp 52,89 triliun atau 79,95 persen dari target APBN yang sebesar Rp 66,15 trililun. Data APBN menunjukkan, angka tersebut lebih rendah 11,51 persen jika dibandingkan dengan realisasi di periode yang sama tahun lalu.

Baca juga: Penerimaan Pajak Jelang Akhir Tahun Baru 72,02 Persen dari Target APBN

Sementara untuk penerimaan PPh non migas hingga akhir November tercatat sebesar Rp 615,72 triliun atau 74,34 persen dari target APBN yang sebesar Rp 828,29 triliun. Realisasi tersebut meningkat 4,07 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Sektor migas nampaknya masih memiliki daya tahan luar biasa di tengah gempuran pemelahan global," jelas Sri Mulyani.

Adapun jika dirinci berdasarkan jenis pajak, PPh Pasal 21 mencatatkan pertumbuhan 10,58 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan realisasi sebesar Rp 133,17 triliun.

Untuk PPh passal 22 mencatatkan realisasi sebesar Rp 16,32 triliun atau tumbuh 6,52 persen, pajak orang pribadi tumbuh 16,59 persen dengan realisasi sebesar Rp 10,34 triliun dan PPh Badan tercatat sebesar Rp 211,66 triliun dengan pertumbuhan 1,18 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

"Untuk pajak ini masih ada yang tumbuh positif, yaitu PPh 21, lalu ada PPh Orang Pribadi. Ini menunjukkan penerimaan di kedua sektor ini masih kuat," jelas Bendahara Negara.

Baca juga: Pemerintah Batal Kejar Pajak Penghasilan Netflix dkk?

Untuk PPN Dalam Negeri, Kemenkeu mencatatkan realisasi sebesar Rp 271,51 triliun menurun 1,76 persen dari realisasi tahun lalu, dan Pajak atas Impor kinerjanya juga turun 6,06 persen dibanding tahun lalu menjadi Rp 209,44 triliun.

"PPN Impor negatif, konsisten dengan bea masuk negatif. Artinya, kegiatan impor kita memang sedang melemah," ujar Sri Mulyani.

4. Dana Desa dan Transfer ke Daerah Nyangkut Rp 234 Triliun

Sri Mulyani pun mengatakan hingga saat ini pihaknya masih memerhatikan dan mengawasi penyaluran dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Pasalnya, dari realisasi TKDD yang per 30 November 2019 mencapai Rp 752,8 triliun atau 91,06 persen dari pagu alokasi di APBN 2019, sepertiganya mengendap di rekening simpanan daerah.

"Walaupun (pemerintah pusat) sudah transfer cukup banya, tapi di daerah itu account simpanan rekening daerah mencapai lebih dari Rp 234 triliun. Kita trasnfer sudah Rp 700an triliun. Dampak ekonomi ke daerah jadi terkurangi hampir sepertiga dari yang tertransfer," ujar Sri Mulyani.

Secara lebih rinci, realisasi TKDD tersebut meliputi trasnfer ke daerah (TKD) yang sebesar Rp 689,21 triliun atau setara dengan 91,07 persen dari pagu anggaran dan penyaluran dana desa sebesar Rp 63,63 triliun atau 90,9 persen dari pagu anggaran.

Bendahara Negara pun mengungkapkan, masalah dari penyaluran TKDD terletak pada terlihat pada realisasi dana alokasi khusus fisik yang masih mengalami kontraksi.

Baca juga: Dana Desa dan Transfer Daerah Mengendap Rp 234 Triliun, Kok Bisa?

Hingga akhir November 2019, realisasi DAK fisik mencapai Rp 47,89 triliun lebih rendah dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 51,42 triliun. Realisasi tersebut pun baru mencapai 69,09 persen dari pagu anggaran yang ditetapkan APBN yaitu sebesar Rp 69,32 triliun.

Sementara DAK non fisik masih menunjukkan pertumbuhan dengan realisasi hingga akhir November 2019 mencapai Rp 118,62 triliun atau 90,53 persend ari pagu yang telah ditetapkan. Sementara di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 113,22 triliun.

"Dana alokasi khusus terutama yang fisik masih mengalami kontraksi. Sedangkan dana alokasi non fisik tumbuh. Terlihat eksekusi fisik terlihat kemampuan di daerah tidak terlalu kuat," jelas Sri Mulyani.

"Ini sebabnya bukan masalah uang, uangnya diberikan tetapi tertahan di account jadi tidak dieksekusi secepat yang dibayangkan," ujar dia.

Lebih lanjut dia mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Bank Indonesia (BI) untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi daerah dalam merealisasi anggaran. Dengan demikian, dana TKDD bisa dimanfaatkan secara maksimal dan APBD pun berjalan secara efektif.

"Kalau yang Rp 230an triliun itu sudah berputar, maka dampaknya bisa lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com