Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Koperasi Multi Pihak untuk BUMDes

Kompas.com - 23/12/2019, 06:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INOVASI sering mentok karena kita mengalami kekakuan struktural dan fungsional, kata Drew Boyd dan Jacob Goldenberg dalam bukunya Inside The Box (2015). Dalam konteks Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kita mengalami keduanya.

Yang pertama kekakuan struktural karena regulasi Permendes No. 4/2015 tidak mengafirmasi badan hukum koperasi. Yang kedua, kekakuan fungsional karena kita membayangkan, sekurang-kurangnya pada UU No. 25/1992, koperasi hanya untuk anggota-pemiliknya. Kita perlu melampaui dua kekakuan itu untuk menciptakan terobosan baru sehingga solutif bagi para pihak yang terlibat.

Spirit BUMDes sebenarnya paralel dengan koperasi, memberi manfaat sebesar-besarnya kepada beneficiaries. Dalam BUMDes, beneficiaries itu adalah masyarakat desa dan Pemerintah Desa (dalam rangka APBDes). Dalam koperasi beneficiaries itu adalah anggota-pemiliknya. Di sinilah awal mula sindrom kekakuan struktural dan fungsional itu muncul.

Pegiat BUMDes melihat koperasi mengeklusi beneficiaries hanya pada anggotanya semata. Padahal BUMDes untuk seluruh warga masyarakat. Mereka melihat koperasi itu eksklusif. Jadilah Permendes No. 4/2015 pasal 8 menyebut BUMDes dapat membentuk unit usaha berupa Perseroan Terbatas dan/atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Lantas apa badan hukum kelembagaan BUMDes sendiri? Menurut para pegiatnya, secara hukum BUMDes dianggap sudah self sufficient sebagai entitas yang dipayungi oleh Peraturan Desa (Perdes).

Ini bisa menjadi diskusi yang menarik dalam perdata, di mana kita memiliki entitas badan hukum bisnis baru di luar Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Dan, karenanya ruang diskusi masih terbuka luas bagaimana status hukum BUMDes ini.

Biarlah itu menjadi perhatian para ahli hukum untuk mengkajinya lebih lanjut. Sedangkan apa yang akan saya ulas adalah peluang melahirkan model kelembagaan baru bagi BUMDes yang dapat mengolaborasi para pihak berbasis koperasi.

Koperasi multi pihak

Di Indonesia model koperasi multi pihak belum berkembang. Salah satu sebabnya karena UU 25/1992 tidak mengaturnya. Di luar negeri, model itu berkembang massif.

Koperasi multi pihak atau multi stakeholder cooperative adalah koperasi yang memiliki basis anggota lebih dari satu kelompok. Misalnya iCOOP di Korea Selatan adalah koperasi multi pihak yang terdiri dari dua kelompok anggota: konsumen dan produsen (petani).

Masing-masing kelompok/pihak memiliki kepentingan yang berbeda. Aspirasi konsumen cenderung bicara soal harga murah. Sebaliknya, aspirasi produsen adalah harga yang bagus. Kedua kelompok yang kepentingannya saling bertentangan itu diwadahi dalam satu atap.

Tujuannya untuk membangun tata ekonomi yang lebih berkelanjutan bagi para pihak.

Konsumen memperoleh nilai yang bagus, begitu pun dengan produsen. Nalar koperasi multi pihak sedari awal menghindari zero sum game. Sebaliknya mendorong win-win solution bagi mereka.

Prof. Hans Munkner dalam makalahnya tentang koperasi multi pihak mengatakan bahwa model koperasi ini dibutuhkan untuk menyiasati beberapa masalah.

Pertama soal masalah eksklusi, di mana seluruh kelompok yang berkepentingan bisa diakomodasi. Kedua masalah resolusi konflik antara para pihak yang berbeda. Ketiga mempertimbangkan perubahan teknologi, ekonomi, sosial yang berubah cepat.

Boleh jadi pemikir koperasi Jerman itu telah membayangkan bagaimana masa depan memberi berbagai peluang dan tantangan berbeda yang tak bisa diselesaikan oleh koperasi konvensional (single stakeholder).

Sebenarnya kita membutuhkan koperasi multi pihak bukan hanya untuk BUMDes, melainkan berbagai sektor lain yang tak bisa dijembatani model konvensional.

Dalam koperasi multi pihak isu krusialnya adalah tata kelola dan pengambilan keputusan. Bila koperasi konvensional, keputusan diambil secara demokratis melalui mekanisme one man one vote. Artinya dalam voting, siapa yang banyak, itulah yang menentukan keputusan. Dalam koperasi multi pihak, hal itu tidak berlaku.

Tata kelola dan pengambilan keputusan koperasi multi pihak diatur secara proporsional, bukan berdasar jumlah basis anggotanya, melainkan basis kelompoknya. Misalnya pada iCOOP yang terdiri dari dua kelompok anggota, konsumen dan produsen, maka masing-masing pihak memiliki separoh kekuasaan sebarapa pun banyak anggota individualnya.

Di tahun 2015 jumlah anggota konsumen iCOOP sebanyak 237 ribu orang dan jumlah anggota produsennya sebanyak 2367 orang. Dalam koperasi konvensional, pastilah yang 237 ribu orang itu selalu menang dalam mengambil keputusan. Namun dalam koperasi multi pihak, kedua kelompok memiliki suara yang sama.

Koperasi BUMDes

Mari kita bayangkan model koperasi multi pihak untuk BUMDes. Pertama kita perlu mengidentifikasi para pihak yang terlibat: Pemerintah Desa, Masyarakat dan Kelompok lainnya.

Bila ada tiga pihak, maka dalam tata kelolanya harus diwakili tiga pihak itu. Dalam pengambilan keputusan jumlah modal dan individu tidak dipertimbangkan. Misalnya Pemerintah Desa sebagai anchor institution keberadaan BUMDes memiliki jumlah suara lebih besar daripada pihak lainnya, minimal 50 persen.

Hal itu dibuat sebagai cara untuk menjaga (safeguard) orientasi dan tujuan BUMDes, memberi manfaat dan layanan sebesar-besarnya bagi masyarakat desa. Pihak kedua, masyarakat sebagai konsumen/produsen bisa memiliki 20-30 persen suara. Lalu pihak ketiga, yakni kelompok pendukung (supporter group), bisa berupa kelompok investor atau lembaga sosial lain, memiliki suara 10-20 persen.

Dengan memberikan hak voting pada dua kelompok itu, tata kelola BUMDes menjadi lebih terkendali. BUMDes menjadi lebih efektif karena masing-masing pihak secara alamiah menghendaki nilai terbaik bagi kepentingannya. Juga makin transparan karena masing-masing pihak membutuhkan informasi yang cukup agar dapat mengendalikannya. Efek lanjutannya, penyalahgunaan wewenang oleh elit (elite captured) dapat dihindari.

Ada kisah bagus di mana salah seorang usahawan besar di Indonesia membuka pihak lain ikut dalam perusahaan keluarganya. Ketika ditanya apa tujuannya? Modal? Bukan.

Ternyata tujuannya untuk membuat tata kelola perusahaannya lebih baik (good governance). Sebab dengan mengajak investor masuk di dalamnya, secara alamiah mereka akan ikut mengawasi tata kelolanya. Yang itu akan sulit dicapai pada perusahaan berbasis keluarga.

Itulah nature dari tata kerja sebuah bisnis. Masing-masing pihak terdorong mengawasi karena untuk mengamankan kepentingannya.

Dalam model koperasi multi pihak BUMDes seperti di atas, secara hipotetis good governance secara alamiah dapat tercapai.

Manfaat lainnya, seperti Prof. Hans Munkner bilang, koperasi multi pihak bertujuan untuk mengonsolidasi sumberdaya lokal bagi pembangunan ekonomi masyarakat. Anggota masyarakat seberapa kecil pun memiliki modal finansial.

Dengan instrumen yang tepat dan mudah, konsolidasi modal anggota masyarakat dapat menjadi leveraging factor bagi pengembangan bisnis-bisnis BUMDes secara akseleratif. Bila masih kurang, investor lokal (BUMDes/desa lain) dapat diajak serta berinvestasi.

Perimbangan kekuasaan/suara sebagaimana di atas cukup diatur oleh Anggaran Dasar. Pada proses itulah demokrasi deliberatif (mufakat) digunakan untuk membangun aturan main bersama antar para pihak. Sedangkan demokrasi voting digunakan dalam membuat kebijakan-keputusan turunan berikutnya.

Azas dasarnya sama, bahwa jumlah modal serta jumlah individu tidak menentukan dalam perimbangan kekuasaan tersebut. Meski Pemerintah Desa hanya menyetor modal Rp 1 miliar, sedangkan masyarakat Rp 2 miliar, dan investor Rp 3 miliar, Pemerintah Desa tetap memiliki kekuasaan yang besar daripada yang lain.

Terkait imbal hasil juga diatur oleh Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga masing-masing. Prinsipnya adalah imbal hasil yang wajar dan berkeadilan bagi para pihak.

Menerobos kekakuan

Di luar BUMDes, koperasi multi pihak bisa digunakan dalam sektor dan kepentingan apapun. Di masa depan model ini akan sangat dibutuhkan masyarakat. Perkembangan model bisnis yang multi ragam bentuknya dapat diakomodasi dalam koperasi ini. Misalnya koperasi platform, koperasi P2P, koperasi pekerja-investor, skema kerjasama PPPP dan jenis-model lainnya.

RUU Perkoperasian yang baru harus memasukkan model koperasi multi pihak untuk menjawab tantangan zaman. Sehingga masyarakat memiliki kepastian hukum untuk menjalankannya.

RUU nampaknya perlu juga mengatur tentang koperasi model baru seperti yang dilakukan oleh Negara Bagian Alberta, Kanada yang secara langsung memasukkan pasal “New Generation Cooperatives”.

Tujuannya agar menjadi payung hukum bagi pengembangan aneka koperasi model baru, yang detil teknis penyelenggaraannya bisa diturunkan dalam Peraturan Menteri Koperasi.

Dalam tata kelola publik, pemerintah perlu untuk mengadopsi pendekatan atau model Private-Public-People Partnership (PPPP) yang membuka peluang lahirnya model kelembagaan baru yang bersifat quasi negara-swasta, quasi negara-komunitas atau bahkan quasi negara-swasta-komunitas.

Koperasi multi pihak memungkinkan untuk menjadi model kelembagaan menjawab tantangan itu. Bagaimana kepentingan dan representasi negara, swasta dan komunitas dapat hadir dalam satu wadah yang bersama-sama menciptakan nilai bagi mereka.

Model PPPP itu bisa kita lihat pada koperasi BUMDes di atas. Pemerintah Desa sebagai representasi public; Anggota Masyarakat sebagai representasi people; Dan kelompok investor sebagai representasi private. Nilai dan prinsip koperasi internasional (ICIS, 1995), yang keberadaannya telah teruji lebih dari 100 tahun, dapat menjadi ikatan bersama (common bond) di antara mereka.

Untuk menciptakan model baru itu, kita harus dapat melampaui kekakuan struktural dari regulasi yang ada dan kekakuan fungsional dari model masa lalu yang terbatas. Kadang, keterbatasan regulasi itu bermula dari keterbatasan imajinasi, yang membuat kita seolah membentur tembok dan tak ada alternatif lainnya.

Saya pikir beberapa bulan ini Menteri Koperasi yang baru, Teten Masduki, telah menunjukkan kemampuannya dalam menjebol kekakuan struktural dan fungsional yang ada.

Mungkin itulah yang membuat Presiden Joko Widodo menunjuknya untuk mengorkestrasi pengembangan UMKM di Indonesia. Lewat omnibus law mendatang kita akan belajar bagaimana segala kekakuan struktural bisa dijebol.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com