Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KALEIDOSKOP 2019: Jalan Panjang Pindah Ibu Kota Negara

Kompas.com - 25/12/2019, 07:23 WIB
Mutia Fauzia,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi ibu kota baru pada akhir Agustus 2019. Lokasinya yakni di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur.

Wacana pemindahan ibu kota megara pun telah digaungkan Jokowi sejak awal periode dirinya menjabat. Namun, pematangan wacana tersebut baru terlaksana di akhir periode pertama dan mulai direalisasikan di periode kedua jabatannya.

Jokowi beralasan, pemindahan ibu kota dilakukan sebagai salah satu upaya pemerataan lantaran selama ini denyut kegiatan ekonomi masih terpusat di Pulau Jawa.

Hal tersebut membuat Pulau Jawa menjadi sangat padat dan menimbulkan ketimpangan dengan pulau-pulau lainnya. Dengan dipidahkannya ibu kota, dia berharap bisa mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa.

Baca juga: Jokowi: Ibu Kota Baru Dirancang Bukan Hanya sebagai Simbol Identitas

Namun demikian, rencana pemindahan ibu kota tersebut bukan tanpa polemik. Jalan panjang harus dilalui pemerintah. Mulai menjawab kritik hingga memberi penjelasan rinci kepada masyarakat.

Berikut jalan panjang rencana pemindahan ibu kota yang dihimpun Kompas.com sepanjang 2019:

1. Alasan Pindah Ibu Kota

Pemindahan ibu kota negara bukan tanpa alasan. Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas yang saat ini menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi Bambang Broddjonegoro menyampaikan, setidaknya terdapat tiga alasan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta perlu dilakukan.

Pertama adalah kondisi Jakarta yang sudah sangat padat penduduk, yaitu mencapai 10,2 juta.
Jakarta merupakan kota terpadat keempat di dunia setelah Manila, New Delhi dan Tokyo.

Padatnya jumlah penduduk di Jakarta kian menjadi-jadi karena ditopang oleh sejumlah kota yang juga punya populasi besar. Tercatat kota Bekasi memiliki 2,4 juta penduduk, Depok 2,1 juta penduduk, Tangerang 2 juta penduduk, dan Tangerang Selatan 1,5 juta penduduk.

Alasan kedua adalah kemacetan. Jakarta selain sebagai ibu kota juga menjadi magnet ekonomi karena bertindak pula sebagai pusat bisnis. Hal ini membuat lalu lintas di Jakarta tak karuan.

Baca juga: 3 Alasan Ibu Kota Harus Pindah dari Jakarta

 

Bahkan, ucapnya, berdasarkan survei 2017, Jakarta merupakan kota keempat terburuk didunia untuk kondisi lalu lintas saat jam sibuk.

"Kalau kita bicara rata-rata kecepatan di peak hour hanya 16 km per jam, jadi percuma punya Ferrari. Kondisi lalu lintas membutuhkan perhatian dan perbaikan luar biasa dan butuh banyak waktu," sebut Bambang.

Alasan ketiga, Jakarta juga harus menanggung beban lingkungan. Bambang mengatakan, Jakarta rawan banjir. Hal ini terjadi akibat penurunan permukaan tanah di pantai utara Jakarta yang mencapai 7,5 cm per tahun.

Bila dihitung dari 1989 sampai 2007 saja, penurunan tanah sudah mencapai 60 cm. Sementara itu permukaan air laut terus naik dan kualitas sungai di Jakarta juga sudah tercemar berat.

"Sehingga wajar kalau ada pemikiran mengenai mengurangi beban Jakarta yang sekarang sebagai pusat segalanya," ucap Bambang.

Baca juga: Sumitomo Tertarik Ikut RI Bangun Megaproyek Ibu Kota Baru

2. Bakal Gunakan APBN Seminimal Mungkin

Rencana pemindahan ibu kota negara menuai kritik banyak pihak. Terutama terkait dengan anggaran yang besar. Pemerintah menyebutkan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp 466 triliun. Presiden Jokowi mengungkapkan, kebutuhan investasi yang tak sedikit tersebut bakal menggunakan APBN seminimum mungkin.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya 19,2 persen sumber pendanaan pembangunan ibu kota baru menggunakan APBN.

Sementara porsi terbesar bersumber dari Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang sebesar 54,6 persen dari keseluruhan dana yang dibutuhkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com