JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengecap segelintir pengusaha yang selalu memanfaatkan para pekerja untuk keuntungannya pribadi.
Ditambah lagi, adanya kepentingan para pengusaha mengatur upah yang juga dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
KSPI pun keberatan adanya wacana pemerintah menerapkan upah dibayar per jam. Hal ini sangat merugikan kaum buruh, termasuk buruh wanita.
Menurut Iqbal, ini sangat bertentangan pada aturan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Baca juga: Serikat Buruh Sebut Omnibus Law Cita Rasa Pengusaha
"Pesan kami kepada pengusaha jangan jadi drakula bisnis. Seperti drakula dihisap, Karena mau ambil semua. Di Omnibus Law itu kesejahteraan yang diambil. Hitung-hitungan jam itu berbahaya sekali. Masa depan kita dihisap. Jadi drakula bisnis saya sebut," kata Said di Jakarta, Sabtu (28/12/2019).
Apalagi omnibus law tersebut pemerintah terus melibatkan pengusaha tanpa berkoordinasi dengan serikat pekerja.
Iqbal menyebut, KSPI pun geram lantaran suara pekerja enggan didengarkan oleh pemerintah. Pun pemerintah terus berdalih jika serikat pekerja selalu dilibatkan dalam pembahasan apapun.
"Kalau ditanya Menko Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, mereka mengatakan buruh dilibatkan. Padahal cuman dipanggil doang, tidak diajak diskusi," ujarnya.
"Pada 2 Oktober 2019, ketika kami ketemu Presiden dia jelas bilang melibatkan stakeholder yaitu pemerintah, pengusaha dan serikat buruh. Tapi serikat buruh tidak dilibatkan. Ini ada apa? Setiap perubahan undang-undang yang hajat hidup orang banyak pasti ada stakeholder. Tapi ini dialog dan diskusi serikat buruh saja tidak ada," keluhnya.
Baca juga: Serikat Buruh Tolak Sistem Upah Per Jam, Ini Alasannya
KSPI tidak menentang adanya omnibus law. Namun, Said menentang satu klaster yang mengatur ketenagakerjaan agar dihapus dalam RUU Omnibus Law yang akan diserahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2020 mendatang.
"Sorotan kami penolakan ini adalah kita meminta DPR nanti pertengahan Januari 2020, kami meminta DPR hapus klaster itu karena pasal-pasalnya merugikan," tegasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.