Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2019: Usai Dikuasai, Bagaimana Nasib Freeport Saat Ini?

Kompas.com - 30/12/2019, 10:40 WIB
Ade Miranti Karunia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero (sekarang MIND ID) pada 21 Desember 2018 lalu, resmi membeli sebagian saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dengan begitu, kepemilikan saham Indonesia atas PTFI meningkat dari 9 persen menjadi 51 persen.

Pengalihan saham tersebut ditandai dengan proses pembayaran dan terbitnya Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK) PTFI yang telah berjalan sejak tahun 1967 dan diperbaharui di tahun 1991 dengan masa berlaku hingga 2021.

Inalum pun telah menyusun sejumlah program pasca mengambil alih 51 persen saham PTFI. Direktur Utama PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, ada tiga rencana strategis yang ditempuh PTFI. Pertama, yakni menjalankan rencana jangka panjang PT FI yang telah disusun dalam long term investment plan.

Kemudian, Inalum sebagai operator PTFI akan melakukan transfer teknologi mengenai pertambangan emas dan tembaga bawah tanah terbesar dan terkompleks di dunia. Tambang PTFI masih sebagian yang dieksploitasi. Masih ada tambang bagian dalam yang belum dieksplorasi.

Eksploitasi tambang Freeport berpotensi menghasilkan 1,8 miliar dollar AS dalam empat tahun ke depan. Tak hanya menguntungkan dari sisi finansial, tapi juga dari segi keilmuan. Usai diakuisisi, perkembangan apakah yang terjadi sepanjang 2019 pada perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc ini?

Baca juga: Setelah Freeport dan Vale, Apa Lagi yang Diincar Holding BUMN Tambang?

1. Potensi Penerimaan dari Tambang Freeport Naik 10 Kali Lipat

Direktur Utama PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, PT Freeport Indonesia akan menghasilkan banyak keuntungan bagi Indonesia. Diperkirakan penerimaan dalam 4 tahun ke depan akan naik empat kali lipat dibandingkan sebelumnya.

"Jumlah penerimaan dalam empat tahun ke depan diperkirakan sebesar 1.8 miliar dollar AS, jauh lebih besar dari penerimaan di tahun 2018 yang hanya 180 juta dollar AS," ujar Budi di kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Penerimaan untuk 2019-2020 tidak ada karena belum beroperasi. Baru pada 2021 dan 2022 Freeport menyumbang ke negara masing-masing sekitar 470 juta dollar AS. Selain itu, pada 2022 juga ada tambahan metal strip. "Tambahan metal strip setara dengan 900 juta dollar AS jadi total 1,8 miliar dollar AS," kata Budi.

Diketahui, tambang Freeport memiliki potensi nilai emas dan tembaga sebesar 170 miliar dollar AS. Selain itu, PTFI memilik EBITDA tahunan mencapai 4 miliar dollar AS dan laba bersihnya setelah tahun 2022 senilai 2 miliar dollar AS. "Mudah-mudahan bisa bermanfaat jadi kita bisa menjaga produksi dan kualitas produksi tambang bawah tanah," lanjut dia.

Total dana yang diperlukan Inalum untuk divestasi 51 persen saham Freeport adalah 3,85 miliar dollar AS atau setara Rp 55,44 triliun dengan perhitungan kurs Rp 14.400 per dollar AS. Dari total 3,85 miliar dollar AS itu, sebanyak 3,5 miliar dollar AS akan digunakan untuk mengambil Participating Interest (PI) Rio Tinto di PTFI yang kemudian dikonversi jadi saham. Sedangkan 350 juta dollar AS sisanya untuk mengambil 100 saham FCX (Freeport McMoran Incorporated) di PT Indocopper Investama yang memiliki 9,36 persen saham di PTFI.

Baca juga: Peneliti: Divestasi Freeport Lewat IPO Untungkan Orang Kaya dan Politisi

2. ESDM Bantah Indonesia Bisa Dapatkan Freeport Gratis Pada 2021

Beberapa kalangan berpendapat bahwa pembelian saham PT Freeport Indonesia (PTFI) bisa menunggu tahun 2021 saat Kontrak Karyanya (KK) berakhir. Dengan begitu, Indonesia akan dengan sendirinya memiliki PTFI secara gratis. Benarkah demikian? Hal itu dibantah Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM, Hufron Asrofi. Dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima dari Inalum, Kamis (17/1/2018).

Hufron mengatakan, bila menanti sampai kontrak berakhir tahun 2021 maka akan merugikan Indonesia. “Menunggu sampai KK berakhir dan tidak memperpanjangnya, selain lebih mahal juga menempatkan kedua pihak dalam situasi lose-lose situation dan memburamkan iklim investasi nasional,” kata dia.

Hufron pun menjelaskan besarnya dampak yang terjadi jika hak perpanjangan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PTFI tidak diberi saat KK berakhir. Pertama, PTFI berpotensi melakukan gugatan sengketa arbitrase internasional. Terlepas dari ketidakpastiannya peluang Indonesia untuk menang, sudah pasti nasib ribuan tenaga kerja Indonesia di PTFI dipertaruhkan.

Selain itu, ada kemungkinan ketidakpastian penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bagi pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.

“Jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah, sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia,” kata Hufron.

Adapun, dampak kedua, kata Hufron, adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakan oleh kegiatan PTFI. Menurut dia, tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun. Sementara itu, jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.

Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. Untuk itu, Hufron Asrofi menegaskan bahwa perpanjangan masa operasi yang diberikan ke PTFI dan pembelian saham mayoritas perusahaan tersebut oleh Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) sudah sesuai dengan ketentuan hukum.

Hal senada diutarakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia menjelaskan karena sistemnya adalah KK yang sah, maka Freeport selalu mengancam akan membawa ke arbitrase jika dipaksa mendivestasikan saham 51 persen kepada Indonesia. “Meski bisa dihadapi tetapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika ke arbitrase,” tutur Mahfud juga dalam keterangan tertulis.

Pendapat sama dikemukakan pula Anggota Komisi 7 DPR RI, Adian Napitupulu. Ia mengatakan, apa yang terjadi di sektor minyak dan gas (migas) dengan Freeport adalah berbeda, sehingga PTFI tidak bisa didapatkan secara gratis.

“KK di sektor tambang, dalam hal ini PTFI, tidak sama dengan KK yang berlaku di sektor migas. Di sektor migas jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh BUMN, dalam kasus tersebut dikelola Pertamina,” katanya.

Dalam peralihan tersebut, lanjut Adian, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.

Sementara itu, dalam kasus Freeport, Adian mengatakan, berdasarkan ketentuan KK Indonesia tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Bahkan sekalipun Indonesia diasumsikan menang dalam pengadilan internasional. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI.

Berdasarkan laporan keuangan audited 2017, estimasi nilai PTFI sekitar Rp 85,7 triliun. Selain itu, kata Adian, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan, yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.

Baca juga: Begini Kondisi Underground Mine Freeport, Panjang Jalannya Capai 500 Km...

3. Kuasai Freeport, Indonesia Belum Bisa Nikmati Untung Besar?

Indonesia memang sudah memegang 51 persen saham PT Freeport Indonesia, namun belum akan mendapatkan keuntungan besar dalam beberapa tahun ke depan. Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno mengatakan, hal itu terjadi lantaran dalam tiga tahun ke depan, Freeport perlu melakukan investasi yang sangat besar.

"Untuk tiga tahun pertama itu akan banyak invesment sehingga dividennya akan drop," ujarnya di Jakarta, Rabu (30/1/2019).

Penurunan dividen ini disebabkan kemampuan perusahaan mencatat laba (profitability) yang juga diyakini akan menurun pada 2019, 2020 dan 2021. Ada dua proyek yang akan menyedot dana besar Freeport pada tiga tahun pertama pasca saham mayoritas dipegang Indonesia. Pertama, pembangunan pabrik pemurnian konsentrat (smelter) dan kedua penambangan bawah tanah (underground).

"Kami menekankan smelter ini penting agar di prosesnya di Indonesia sehingga produk-produk sampingnya pun bisa dikembangkan juga di Indonesia. Kedua bahwa tambangnya itu sendiri tidak lagi open pit tetapi harus underground," kata Rini.

Meski begitu, Rini yakin RI akan menuai keuntungan dari investasi besar Freeport pada 2022 mendatang. Menurut Rini, hal ini merupakan hal yang wajar dalam korporasi. Ia lantas mencontohkan perusahaan-perusahaan BUMN yang juga melakukan investasi besar pada 2016 dan 2017 lalu. Akibatnya growth dari profitability BUMN tersebut tidak sebanyak tahun sebelumnya.

"Sehingga (keuntungan BUMN) baru akan kelihatan mungkin akhir 2019 naik karena investasinya mulai memberikan hasil. Nah Freeport juga akan begitu," kata dia.

Baca juga: Peralihan Bisnis Tambang Freeport Bikin Salah Satu Penerimaan Negara Anjlok

4. EBITDA Turun, Freeport Tak Bagi Dividen Selama 2 Tahun

Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, PTFI tidak bakal membagi dividen selama kurun waktu dua tahun. Terhitung sejak 2019-2020. Pasalnya, EBITDA atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi di Freeport dalam dua tahun ini bakal turun drastis. Hal ini terjadi karena terhentinya produksi di tambang terbuka Grasberg.

"Jadi kami nggak bakal bagi dividen selama dua tahun, nol sampai 2020," kata Budi seusai menghadiri diskusi "Kembalinya Freeport ke Indonesia, Antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Asing" di Gedung Kahmi Center, Jakarta, Rabu (9/1/2019).

Budi menuturkan, pendapatan dari produksi di tambang bawah tanah bakal mulai ada pada 2021. Nantinya, produksi diperkirakan baru sedikit dan mulai meningkat memasuki 2022 hingga stabil pada 2023 mendatang.

Karena EBITDA Freeport bakal merosot tahun ini dibandingkan sebelumnya, lantaran Grasberg Open Pit habis pada 2019 dan diganti dengan tambang bawah tanah. Dalam keadaan stabil, perseroan bisa mendapat laba 2 miliar dollar AS per tahun.

Bahkan revenue perusahaan akan mencapai 7 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 98 triliun per tahun (asumsi nilai tukar Rp 14.000 per dolar AS). Nantinya, EBITDA perseroan dalam keadaan stabil bahkan mencapai 4 miliar dollar AS.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menuturkan, EBITDA Freeport diperkirakan turun dari 4 miliar dollar AS menjadi hanya sebesar 1 miliar dollar AS tahun ini. Kendati demikian, Bambang mengatakan pendapatan Freeport turun bukan karena susutnya cadangan dan kadar barang tambang di sana.

Tapi penurunan itu karena proses produksi di tambang bawah tanah (underground) Grasberg belum dimulai. Jika nanti tambang bawah tanah sudah beroperasi, ia yakin dan optimistis pendapatan PTFI akan mulai meningkat lagi. "Sejak 2020 dan 2021 akan naik lagi sampai 2025. Nanti 2025 akan mulai stabil," sebut Bambang.

Baca juga: Inalum Merugi Pasca Akuisisi PT Freeport Indonesia, Benarkah?

5. Usai Akuisisi Produksi Emas Freeport Merosot 72,77 Persen di Kuartal I 2019

Seperti yang sudah diperkirakan, produksi mineral emas dan tembaga Freeport merosot dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya masa transisi pengalihan metode penambangan dari tambang terbuka ke tambang bawah bawah (underground mine). Penurunan tersebut tampak dalam laporan kinerja Kuartal I tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Freeport-McMoran Inc (FCX).

Berdasarkan laporan tersebut, produksi tembaga PTFI hanya menyentuh angka 145 juta pon, atau merosot sebesar 53,38 persen dari produksi kuartal I tahun lalu yang berada di angka 311 juta pon. Tak hanya tembaga, produksi emas dari perusahaan yang operasional pertambangannya berada di Papua itu pun turut anjlok. Hingga 31 Maret 2019, produksi emas PTFI melorot 72,77 persen menjadi 162.000 ounce dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 595.000 ounce.

Sejalan dengan penurunan produksi, volume penjualan pun juga turut merosot. Penjualan tembaga PTFI sepanjang Kuartal I 2019 hanya mencapai 174 juta pon atau anjlok 45,45 persen dibandikan dengan penjualan periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 319 juta pon. Sedangkan, volume penjualan emas PTFI turun menjadi 235.000 ounce atau turun 61,03 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berada diangka 603.000 ounce.

Kendati demikian, Chief Executive Officer FCX, Richard C Adkerson mengatakan, bahwa transisi penambangan bawah tanah di Grasberg, Papua, masih berjalan sesuai yang ditargetkan. Ia juga menyebut, saat ini PTFI tengah melakukan penambangan fase akhir di tambang terbuka Grasberg.

"Transisi kami pada penambangan bawah tanah di Grasberg maju sesuai rencana," kata Adkerson.

Adapun, perkiraan pengeluaran modal tahunan PTFI untuk proyek pengembangan tambang bawah tanah tersebut diperkirakan mencapai rata-rata 0,7 miliar dollar AS per tahun, selama empat tahun ke depan. Kendati volume produksi tembaga mengalami penurunan, namun dalam laporan kinerja Kuartal I 2019 tersebut, PTFI membuka kemungkinan untuk menambah kuota ekspor konsentrat tembaga.

Vice President Corporate Communication PTFI, Riza Pratama membenarkan hal tersebut. Hanya saja, ia belum memberikan detail rencana penambahan kuota tersebut. "Rencana produksi konsentrat kami jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu karena mendekati tahapan terakhir dari tambang terbuka Grasberg. Namun demikian, kami tetap berusaha meningkatkan produksi secara aman," kata Riza.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariono mengatakan, pihaknya mempersilahkan jika PTFI ingin mengajukan penambahan kuota ekspor konsentrat tembaga. Bambang bilang, rencana penambahan kuota itu dimungkikan selama sesuai dengan kapasitas smelter terpasang atau yang tengah dalam proses pembangunan.

Bambang pun menyampaikan, hingga saat ini pihaknya masih belum menerima permohonan tambahan kuota dari PTFI. "Belum, yang penting sesuai kapasitas smelter, kalau tidak sesuai kapasitas terpasang ya nggak bisa," ujar Bambang.

Adapun, PTFI telah mengantongi perpanjangan izin ekspor sejak 8 Maret 2019. Izin yang berlaku selama satu tahun ke depan tersebut memiliki kuota sebesar 198.282 wet metric ton (wmt). Jumlah itu anjlok drastis. Padahal, dalam empat tahun terakhir, kuota ekspor konsentrat tembaga PTFI selalu ada di atas 1 juta WMT. Dalam satu periode terakhir (15 Februari 2018-15 Februari 2019) misalnya, jumlah kuota ekspor PTFI mencapai 1,25 juta WMT.

Baca juga: Produksi Emas Freeport Merosot 72,77 Persen di Kuartal I 2019, Ini Sebabnya

6. Habis Sejak 15 Februari, Pemerintah Kembali Beri Izin Ekspor Freeport

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memberikan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) untuk PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Rekomendasi ekspor tersebut diterbitkan hari ini dan berlaku selama satu tahun ke depan.

"Sudah terbit, per hari ini, untuk setahun," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, Jumat (8/3/2019).

Sementara Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saifulhak menyebutkan, rekomendasi ekspor konsentrat tembaga yang diberikan untuk PTFI adalah sebesar 198.282 wet metric ton. Sementara Amman Mineral sebesar 336.100 wet metric ton (wmt).

Yunus mengatakan, rekomendasi ekspor yang diberikan pihaknya itu sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang diajukan oleh perusahaan. Untuk PTFI misalnya, Yunus mengatakan bahwa pada tahun ini, produksi konsentrat PTFI sekitar 1,3 juta wmt. "Sekitar 1,1 juta ton untuk kebutuhan smelter di PT Smelting Gresik, sisanya sekitar 200.000 itu untuk ekspor," katanya.

Kendati demikian, Yunus mengatakan bahwa rekomendasi ekspor dalam setahun ini bisa saja mengalami perubahan. Itu terjadi bila ada perubahan rencana kerja, juga ada peningkatan produksi. "Kecuali ada perubahan yang lain, dia mengubah rencana kerjanya, atau produksinya meningkat," tutur Yunus.

Sebagai informasi, rekomendasi ekspor konsentrat PTFI telah habis sejak 15 Februari 2019. Sementara SPE Amman Mineral berakhir pada 21 Februari 2019. Dalam hal ini, Yunus menekankan bahwa pihaknya tidak pernah menghambat terbitnya rekomendasi ekspor ini. Sebab, pihaknya harus terlebih dulu menunggu kelengkapan dokumen yang diperlukan, termasuk verifikasi dari konsultan independen terkait dengan progres pembangunan smelter.

Apalagi, sambung Yunus, proses saat ini telah memakai sistem online, sehingga proses perizinan tidak akan berlangsung lama. "Kenapa kok terkesan lama? itu karena verifikasinya (progres smelter) baru diterima kemarin Rabu (6/3/2019). Perizinan di tempat kami sudah online, jadi tidak lama," ujarnya.

Baca juga: Habis Sejak 15 Februari, Pemerintah Kembali Beri Izin Ekspor Freeport

7. Freeport Bantah akan PHK Karyawan

Manajemen PT Freeport Indonesia membantah rumor yang menyebutkan dalam waktu dekat akan memangkas sebagian besar karyawannya seiring dengan akan berakhirnya operasi tambang terbuka Grasberg Tembagapura. "Tidak ada rencana itu, tidak ada rencana mengurangi jumlah karyawan," kata Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama di Timika, Papua, Kamis (21/2/2019).

Riza mengakui tambang terbuka Grasberg yang mulai beroperasi pada dekade 1990-an kini memasuki masa-masa akhir operasinya. Ke depan sebut dia, Freeport berkonsentrasi penuh dalam pengembangan tambang bawah tanah (underground mining).

Sehubungan dengan kondisi itu, Riza mengatakan selama dua tahun hingga 2020 produksi konsentrat yang dihasilkan tambang bawah tanah Freeport belum bisa maksimal sebagaimana produksi tambang terbuka Grasberg selama ini.

"Dalam dua tahun ke depan memang ada transisi di mana tambang bawah tanah itu belum maksimal mencapai produksinya. Setelah itu kita harapkan produksinya akan naik terus. Makanya dalam dua tahun ini kami mengutamakan untuk pengiriman konsentrat ke pabrik smelter di Gresik," ujar Riza.

Menurut dia, dengan akan berakhirnya operasional tambang terbuka Grasberg maka produksi Freeport tahun ini hingga 2020 diprediksi akan turun drastis. Hal itu, katanya, juga akan berdampak kepada pendapatan yang diterima PT Freeport, sehingga juga akan berimbas kepada jumlah kucuran dana kemitraan untuk menunjang program pengembangan masyarakat lokal di sekitar area tambang di Kabupaten Mimika.

"Tentu akan berdampak kepada gross revenue kita. Dana satu persen (dana kemitraan) itu juga besarannya juga bergantung pada pendapatan PT Freeport. Kami berharap proses transisi ini paling lambat dalam waktu tiga tahun ke depan sudah bisa berkembang lagi produksinya. Kalau produksi semakin meningkat maka sudah tentu akan lebih baik lagi kucuran dana kemitraan kepada masyarakat," ucapnya.

PT Freeport kini merencanakan akan mengoperasikan kereta tambang bawah tanah untuk menunjang operasi tambang masa depannya. Hingga kini, PT Freeport masih menunggu persetujuan dari Pemprov Papua untuk segera mengoperasikan kereta tambang bawah tanah tersebut.

Selain itu, Freeport juga diberikan waktu selama lima tahun oleh pemerintah untuk menyelesaikan pembangunan pabrik smelter di Gresik, Jawa Timur, yang nantinya berkapasitas dua juta dry metric ton (dmt) konsentrat Cu per tahun dan kapasitas "output" 460.000 katoda tembaga.

Direktur Utama Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan, perusahaannya telah menyiapkan investasi sekitar 2,6 miliar dolar AS atau Rp36,4 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 14.000 per dollar AS, untuk menyelesaikan pembangunan pabrik pengolahan hasil tambang itu.

Baca juga: Para Pekerja Freeport Shalat Tarawih di Masjid Terdalam di Dunia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com