Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut KSPI, Ini 5 Fakta RUU Omnibus Law yang Rugikan Para Buruh

Kompas.com - 30/12/2019, 14:33 WIB
Ade Miranti Karunia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal membeberkan, setidaknya ada lima hal mendasar yang disasar omnibus law.

Menurut Iqbal, ini berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah.

Di antaranya, menghilangkan upah minimum, pesangon, fleksibilitas pasar kerja/penggunaan outsourcing diperluas, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) unskill, dan jaminan sosial terancam hilang.

"Mencermati wacana omnibus law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalah pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia," ujar Iqbal dalam pernyataan tertulisnya, Jakarta, Senin (30/12/2019).

Baca juga: Sederet Kekhawatiran Serikat Pekerja Terhadap Omnibus Law Jokowi

Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.

Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.

Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," katanya.

Baca juga: Serikat Buruh Sebut Omnibus Law Cita Rasa Pengusaha

Namun demikian, menurut Iqbal, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," katanya.

Terkait pesangon, dalam RUU Omnibus Law diatur tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.

Baca juga: Ini Tujuan Jokowi Buat Skema Upah Per Jam

Terkait hal ini, Iqbal mengatakan, bahwa di dalam UU No.13 Tahun 2003, sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK.

Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan dua untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 16 bulan upah.

Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan atau penghargaan masa kerja.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com