Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Upah Per Jam: Ditolak Buruh, Didukung Pengusaha

Kompas.com - 31/12/2019, 10:11 WIB
Muhammad Idris,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tengah menggodok skema upah per jam untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja. Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.

Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah skema upah per jam dalam omnibus law dilakukan untuk para pekerja lepas, sehingga pemerintah bisa memberikan kepastian perlindungan pekerja bagi mereka yang berstatus 'freelance'.

Waktu kerja dalam Undang Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebanyak 40 jam per minggu. Di sisi lain, banyak profesi yang jam kerjanya di bawah 40 jam per pekan, sehingga dirasa perlu dibuat regulasi yang menjadi payung hukumnya.

Ida mengatakan aturan baru itu juga menjadi fleksibilitas bagi dunia usaha dan pekerja. Pasalnya banyak sektor yang dinilai membutuhkan tenaga kerja dengan skema beberapa jam.

Rencana kebijakan tersebut pun, diakui Ida, telah dikomunikasikan dengan pelaku usaha dan serikat pekerja. Nantinya skema penghitungan upah per jam itu akan ditentukan.

"Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," terang Ida seperti dikutip Kompas.com, Selasa (31/12/2019).

Baca juga: Ini Tujuan Jokowi Buat Skema Upah Per Jam

Diprotes buruh

Kendati demikian, sejumlah serikat buruh menilai 'pelegalan' upah per jam oleh pemerintah dinilai sebagai langkah mundur. Regulasi tersebut, akan merugikan pekerja, bahkan berpotensi terjadi PHK besar-besaran.

"Ya ratusan juta lah. Katakan kita ambil data BPS aja ya, data BPS pekerja formal itu adalah 54,7 juta, penerima upah minimum menurut dewan pengupahan datanya adalah 70 persen penerima upah minimum, berarti kan hampir 40 jutaan pekerja formal, itu di luar informal," ujar Presiden KSPI, Said Iqbal. 

Menurut Said, dengan diaturnya upah per jam menjadi UU, akan menambah alternatif bagi pengusaha dalam sistem pengupahan demi efisiensi. Kondisi inilah yang menurutnya bisa membuat PHK semakin besar.

"Ditambah, informal itu sekitar 70 jutaan, berarti dengan sistem upah per jam tadi, tidak akan tercapai nilai upah minimum. Artinya, ada 40 juta orang buruh formal yang tidak akan terbayar upah minimumnya," sambungnya.

Baca juga: KSPI: Jika Sistem Upah Per Jam Terealisasi, Ratusan Juta Pekerja Kena PHK

Dijadwalkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini akan diserahkan pada awal Januari 2020 ke Lembaga Legislatif DPR RI. Bila pada akhirnya pemerintah dan DPR RI sepakat mengesahkan, KSPI pun turut bertindak.

Masa buruh akan menggelar aksi unjuk rasa di 20 provinsi, Bahkan, aksi unjuk rasa yang dihelat nanti bakal berlanjut sampai tuntutan suara buruh dikabulkan. Selain itu, mereka juga akan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

"Pertama, citizen lawsuit, gugatan warga negara. Kedua, lakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan undang-undang itu," ujarnya.

Pengusaha mendukung

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mendukung wacana pemerintah mengubah upah tetap dari per bulan menjadi hitungan per jam.

"Saya rasa bagus sih karena lebih fleksibel. Sekarang trennya apalagi anak muda kalau kerja hitungannya per jam," kata Hariyadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com