Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Tak Bisa Tunggu Bill Gates Bikin Koperasi Big Data

Kompas.com - 07/01/2020, 10:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP orang yang terhubung dengan internet lewat aplikasi apa pun selalu meninggalkan jejak digital.

Pasti Anda pernah alami suatu tempo mencari "sepatu" di Google, lalu sekian waktu kemudian muncul iklan sepatu di laman Facebook. Pengiklan adalah pihak lain seperti marketplace atau vendor-vendor mandiri.

Proses seperti itu terjadi hanya dalam hitungan detik. Bekerja lewat browser yang kita gunakan di ponsel masing-masing. Itulah hasil kerja satu fitur yang namanya "cookie".

Secara konsensual Anda menyepakati untuk membagi data kepada pihak tertentu yang menghasilkan profil siapa Anda. Lalu cookie mengumpan balik ke pihak lain, dalam hitungan detik/ menit, hasilnya iklan yang pas sesuai dengan profil pribadi Anda. Di dunia periklanan hari ini disebut sebagai online targeted advertising.

Lalu, siapa pemilik cookie itu? Tentu bukan Anda. Itu bisa disediakan oleh pihak pertama, yakni pemilik aplikasi, pihak kedua atau bahkan pihak ketiga. Yang pasti Anda tidak memperoleh nilai tambah atas penggunaan data itu. Padahal platform menyedot semua jejak digital, yang Anda bayangkan sebagai "limbah".

Oleh mereka, dengan artificial intelligent dan juga machine learning, limbah digital Anda dianalisis sedemikian rupa menjadi profil perilaku konsumen.

Baca juga: Simak Tips Aman Menggunakan Mobile Banking Berikut Ini

Agus Sudibyo (2019) dalam bukunya Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan membedah bagaimana modus surveillance capitalism bekerja. Apa yang Anda kira sebagai limbah digital adalah serpihan emas yang akumulasinya menjadi bongkahan emas. Itulah yang kita sering sebut sebagai "big data".

Para pemilik super platform seperti Google, Facebook, Amazon, Microsoft dan Apple dengan canggih mengelola dan memonetisasinya. Maka, semakin sering Anda terhubung dengan internet, makin banyak limbah digital. Makin besar data terakumulasi, ujungnya makin besar potensi monetisasinya. Untuk mereka.

Potensi ekonomi digital Indonesia nomor satu di ASEAN. Google memprediksi pertumbuhannya akan mencapai 54 miliar dollar AS pada tahun 2025. Hal itu sangat masuk akal.

Pada tahun 2019, iPrice Group merilis 10 besar e-commerce di Indonesia. Peringkat pertama adalah Tokopedia dengan tingkat kunjungan 140 juta per bulan. Disusul Shopee 90 juta, Bukalapak 89 juta lalu Lazada 49 juta dan Blibli 38 juta kunjungan per bulan. Dengan kunjungan seeksesif itu, bisa dibayangkan berapa tera atau petabyte data perilaku konsumen yang tercipta.

Lalu sebagai pengguna atau konsumen, apakah kita memperoleh nilai lebih dari penggunaan data tersebut? Tidak. Selain bahwa beberapa layanan kita bisa peroleh secara cuma-cuma (freemium). Sayangnya, tidak ada makan siang gratis. Bila Anda tak bisa membeli layanan, maka Andalah atau data Anda yang dibeli mereka.

Data as labor

Sejak 2013 para ilmuwan dan aktivis digital memerhatikan secara serius perkembangan ekonomi digital. Konglomerat itu tak hanya menjual jasa/ produk melainkan memperoleh data pengguna. Hasilnya berlipat ganda. Jadilah masyarakat terbagi dua, pemilik dan penyedia data. Keuntungan tentu saja lari kepada para pemilik data, yakni pemilik platform.

Padahal data dihasilkan oleh aktivitas para pengguna. Di sinilah lalu muncul dua konsep: data as capital dan data as labor.

Yang pertama mengacu bahwa data itu dimiliki oleh platform sebab merekalah yang menambang dan mengelolanya melalui artificial intelligent.

Yang kedua, secara inheren data itu dihasilkan para pengguna, bila aktivitas berselancar itu disebut "pekerjaan", maka data itu adalah hasil kerja para pengguna (labor).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com