Menurut Jokowi, harga gas di Vietnam 7 dollar AS, di Malaysia 4 dollar AS, dan di Singapura 4 dollar AS per MMBTU. Padahal, kata Presiden, Indonesia memiliki cadangan gas lebih banyak daripada negara-negara tersebut.
”Hal ini harus dibenahi untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia, terutama keramik, tekstil, petrokimia, pupuk, dan baja yang banyak menggunakan gas,” kata Jokowi.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi yang mengatur penurunan harga jual gas bumi bagi industri.
Perpres yang ditandatangani Jokowi pada 3 Mei 2016 itu menindaklanjuti Paket Kebijakan Ekonomi III yang diumumkan pada Oktober 2015.
Sebelumnya, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, mahalnya harga gas industri karena adanya kenaikan harga bahan baku dari sisi hulu. Hal itu menurut Luhut karena di hulu migas diduga banyak maling.
"Ya dari awal sudah banyak maling di sana," kata Luhut di Kemenko Maritim dan Investasi, Jakarta.
Sementara Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin membenarkan harga jual bahan baku gas yang tinggi di area hulu. Saat ini, harga bahan baku gas di sana mencapai lebih 5 dollar AS MBTU.
"Harga bahan baku gas di hulunya kita tinggi. Jadi sebelum sampai ke PGN, sudah di atas 5 sampai. Ini yang harus kita pikirkan bagaimana harga gas ini murah. Karena harga bahan bakunya, PGN sudah mengambil di atas 5," ucapnya.
Pemerintah sedang berusaha mencari sumber daya lain agar bisa menggantikan harga bahan baku gas hulu yang terlalu tinggi. Namun, pemerintah tidak akan memberikan subsidi gas industri.
Baca juga: Menperin Usulkan Harga Gas untuk Industri Diturunkan
"Aku rasa sayang kalau harga gas disubsidi. Harusnya cari sumber gas yang lain saja, yang lebih baru," katanya.
Menurut Budi Gunadi, potensi penurunan harga gas industri pasti bisa hanya saja tergantung permintaan dan pasokan pasar serta perbedaan antara dalam negeri dan luar negeri yang dianggap harganya tak jauh signifikan.
(Sumber: KOMPAS.com/Ade Miranti Karunia | Editor: Sakina Rakhma Setiawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.