Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RI Punya Gas Alam Melimpah, tapi Harganya Lebih Murah di Singapura

Kompas.com - 07/01/2020, 18:55 WIB
Muhammad Idris,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku sangat geram harga gas tak kunjung turun. Bahkan di tahun 2016 silam, dirinya sudah menjanjikan harga gas untuk industri turun, namun sampai saat ini belum juga terealisasi.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, mengaku heran bagaimana Indonesia yang merupakan produsen, namun harga gasnya justru lebih mahal ketimbang negara-negara tetangga yang gasnya didapat dari impor.

"Kita bandingkan sama Malaysia sajalah yang sama-sama produsen gas. Kalau Thailand harganya hampir sama dengan kita, itu karena dia impor. Singapura bahkan lebih murah lagi," ucap Elisa kepada Kompas.com, Selasa (7/1/2020).

Harga gas di beberapa negara tetangga per juta metrik british thermal unit (MMBTU) seperti Vietnam 7 dollar AS, di Malaysia 4 dollar AS, dan di Singapura 4 dollar AS per MMBTU.

Lanjut Elisa, Singapura yang kebutuhan gas seluruhnya berasal dari impor, bahkan berani mematok harga 5 dollar AS per MMBTU.

Baca juga: Turunkan Harga Gas: Janji Jokowi yang Belum Terealisasi Sejak 2016

"Singapura kan beli dari kita gasnya. Tapi di Singapura sebagai catatan, yang mendapatkan harga gas murah hanya industri-industri tertentu saja, tidak semua, makanya pemerintah kasih subsidi," terang Elisa.

Meski mengeluarkan subsudi, sambungnya, tak lantas itu merugikan Singapura.

"Dia dukung industri tertentu dengan subsidi gas, tapi Singapura dapat nilai tambah lebih besar misalnya dari PPN, PPh, dari penciptaan lowongan pekerja. Jadi tidak menjadikan harga gas sebagai direct income, tapi untuk stimulus pembangunan. Dia bisa untung lebih besar dari keluar subsidi," ungkapnya.

Dikutip dari Harian Kompas, 5 Oktober 2016, Penurunan harga gas sendiri sebenarnya sudah diupayakan sejak 2016, namun realisasi di lapangan masih sulit dilakukan.

Rencana pemerintah menurunkan kebijakan harga gas untuk industri ditempuh dengan dua cara, yaitu menurunkan ongkos pengangkutan gas (toll fee) dan mengurangi bagian penerimaan negara di hulu.

Langkah ini untuk memperkuat daya saing industri nasional di pasar global. Saat ini, harga gas industri domestik yang berkisar 9,5 dollar AS-11 dollar AS per MMBTU menempatkan Indonesia sebagai negara dengan harga gas industri termahal di Asia Tenggara.

Baca juga: Keluhan Industri Keramik: Sudah Gas Mahal, Dihajar Impor Pula

”Saya meminta ada langkah konkret untuk menjadikan harga gas di Indonesia lebih kompetitif. Dari simulasi hitungan, harga gas Indonesia bisa turun hingga 5 dollar AS sampai 6 dollar AS per MMBTU. Jika tidak bisa turun, sebaiknya tidak perlu dihitung lagi,” kata Jokowi saat itu.

Padahal, kata Jokowi, Indonesia memiliki cadangan gas lebih banyak daripada negara-negara tersebut.

”Hal ini harus dibenahi untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia, terutama keramik, tekstil, petrokimia, pupuk, dan baja yang banyak menggunakan gas,” kata Jokowi.

Menurut catatan Kompas, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi yang mengatur penurunan harga jual gas bumi bagi industri.

Baca juga: Harga Gas Industri Mahal, Luhut Sebut Banyak Maling

Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2016 itu menindaklanjuti Paket Kebijakan Ekonomi III yang diumumkan pada Oktober 2015.

Presiden meminta harga gas turun hingga 5-6 dollar AS per MMBTU mulai November 2016. Presiden membandingkan harga gas di negara tetangga yang jauh lebih murah.

Padahal, kata Presiden, Indonesia memiliki cadangan gas lebih banyak daripada negara-negara itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com