Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puluhan Tahun Diembargo AS, Bagaimana Ekonomi Iran?

Kompas.com - 09/01/2020, 13:18 WIB
Muhammad Idris,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah hampir empat dekade atau 40 tahun Iran mengalami tekanan embargo ekonomi dari Amerika Serikat dan sekutunya dari negara-negara Barat. Sanksi ini diberikan karena Negeri Mullah ini dianggap bersikeras mengembangkan program nuklir.

Tercatat, Iran pertama kali dijatuhi sanksi ekonomi pada 1980. Embargo berlanjut saat AS dipimpin Presiden Bill Clinton menambah rangkaian sanksi pada Iran, dengan menghentikan perdagangan dan melarang investasi perusahaan-perusahaan AS di Iran.

Tahun 2015, saat AS di bawah Presiden Barrack Obama, sanksi ekonomi mulai mengendur setelah kesempatan tercapai antara Iran dengan negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB menandatangani kesepakatan penghentian nuklir The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Arah perbaikan hubungan Iran dengan negara-negara Barat dan AS yang mulai membaik, kembali memburuk, bahkan lebih suram dari tahun-tahun sebelumnya, setelah Donald Trump meraih kemenangan dalam pemilihan Presiden AS.

Trump menarik mundur AS dari kesepakatan karena menilai Iran sampai saat ini tetap menjalankan program nuklir. Meski demikian, pernyataan Trump tersebut dibantah oleh The International Atomic Energy Agency (IAEA) yang bertugas sebagai pengawas langsung di Iran.

Dikutip Kompas.com dari BBC, Kamis (9/1/2020), Trump bersikeras memberikan tekanan maksimal pada Teheran agar menegosiasikan kembali perjanjian nuklir. Pemerintah Iran menentang permintaan Trump tersebut.

Baca juga: Perang dan Laris Manisnya Bisnis Senjata

Akibat rentetan embargo yang kembali diberlakukan, pertumbuhan ekonomi merosot hingga menjadi 3,7 persen pada tahun 2017. Tambahan sanksi ekonomi memicu krisis ekonomi dan sempat membuat negara itu dilanda demo besar-besaran pada November 2019.

Ekonomi Iran sebenarnya telah mengalami resesi selama puluhan tahun sejak embargo Amerika sejak 1980-an. Namun, pelan-pelan negara ini bisa beradaptasi dengan sulitnya kondisi ekonomi pasca-embargo.

Sebagai imbas sanksi baru, berdasarkan catatan International Monetary Fund (IMF), GDP Iran menyusut sampai sekitar 4,8 persen pada 2018 dan diperkirakan kembali menyusut hingga 9,5 persen pada 2019. IMF memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Iran bahkan menyentuh nol persen pada 2020.

Pembatasan minyak

Kendati menghadapi sanksi ketat, AS memberikan kelonggaran pada Iran, yakni selama enam bulan, negara itu bisa tetap menjual minyaknya ke negara yang diberikan pengecualian, seperti Rusia, Turki, China, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Italia, dan Yunani.

Pada tahun 2018, produksi minyak mentah Iran mencapai 3,8 juta barrel per hari (bpd). Merujuk data yang dirilis Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Iran mengekspor sekitar 2,3 juta barrel per harinya.

Namun, keringanan itu tidak gratis. AS menetapkan pembatasan pada importir-importir yang membeli minyak dari Iran. Kondisi ini membuat penjualan minyak Iran rata-rata turun 1 juta barrel seharinya, seperti dikutip dari Bloomberg.

Kebijakan Trump ini membuat Iran kehilangan pemasukan hingga miliaran dollar AS. Kondisi lebih parah, yakni saat pelonggaran enam bulan dari AS berakhir, membuat negara itu makin kesulitan menjual minyaknya.

Baca juga: Analis: Harga Minyak Bisa Naik ke 100 Dollar AS Per Barrel jika Iran Blokir Selat Hormuz

Pada Oktober 2019, masih dari data OPEC, produksi minyak mentah Iran turun hanya menjadi 2,1 juta barrel per hari. Ekspor minyak Iran jauh merosot dari sebelumnya hanya menjadi 260.000 barrel per hari.

Kendati demikian, menurut para analis, angka yang dirilis OPEC tersebut bisa jadi bukan angka riil. Ini karena Iran juga menjual minyaknya secara sembunyi-sembunyi pada negara lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com