Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

SKK Migas Sebut Proses Distribusi Jadi Biang Kerok Harga Gas Mahal

Kompas.com - 10/01/2020, 12:14 WIB
Rully R. Ramli,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas bumi (SKK Migas) menyebutkan proses distribusi jadi alasan harga gas industri mahal.

Kepala SKK Migas SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, harga gas di sumur atau level upstream masih relatif rendah. Rata-rata harga gas mencapai 5,4 dollar AS per juta british thermal unit (million british thermal unit/MMBTU).

"Ini tentu saja bervariasi. Kalau onshore sekitar 4 dollar AS (per MMBTU). Kemudian yang di offshore agak lebih tinggi sedikit," ujarnya, di Kantor SKK Migas, Jakarta, Kamis (8/1/2020).

Baca juga: Turunkan Harga Gas: Janji Jokowi yang Belum Terealisasi Sejak 2016

Mantan Direktur Utama Pertamina itu menjelaskan, harga gas kemudian menjadi lebih tinggi setelah melalui proses distribusi ke industri. Proses distribusi ini dapat dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan penjual gas.

"Dalam perjalanannya sampai di industri kalau yang langsung dengan KKKS bisa 6-7 dollar AS, sedangkan yang lewat trading bisa 8-9 dollar AS," katanya.

Menurut Dwi, proses distribusi inilah yang perlu ditekan biayanya. Sebab, di level hulu dengan berbagai proses yang panjang, harga gas masih mampu dipatok di kisaran 5,4 dollar AS.

"Kita yang kerjanya ngebor, survei begitu lama untuk eksplorasi jatuhnya bisa sekitar 5 dollar AS. Tapi, hingga end user rentetan perlu dibuka," katanya.

Baca juga: Harga Gas Industri Mahal, Luhut Sebut Banyak Maling

Kendati demikian, SKK Migas juga akan melakukan kajian mengenai penekanan biaya gas di level hulu. Beberapa hal yang akan dikaji seperti hal nya dikurangkannya setoran pajak ke negara hingga pemberian insentif.

"Kita juga excercise apa itu pajak, insentif, dan lain-lain sehingga bisa tekan harga gas. Memang perlu kita lihat blok per blok," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko mengatakan, pihaknya perlu mengetahui komponen harga gas sampai di industri.

"Seperti harga hulu, transportasi, toll fee, hingga margin di midstream user. Investasi hulu sangat besar, harapan SKK migas jika ada margin jangan sampai kalah dengan yang midstream," tutur dia.

Baca juga: Jokowi Kesal Harga Gas Industri Mahal, Ini Kata SKK Migas

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan kekecewaannya terhadap harga gas industri yang masih mahal.

Jokowi meminta jajarannya melihat betul penyebab tingginya harga gas, mulai dari harga di hulu, di tingkat lapangan, pada saat penyaluran gas, biaya transmisi gas, sampai di hilir atau di tingkat distributor.

"Pilihannya kan hanya dua, melindungi industri atau melindungi pemain gas," kata dia dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/1/2020).

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memberikan tiga opsi untuk menekan harga gas industri. Opsi pertama adalah pengurangan porsi jatah pemerintah yang sebesar 2,2 dollar AS per 1 MMBTU dari hasil KKKS.

Opsi kedua, kata Jokowi, yakni pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO). Ketiga, adalah membebaskan industri untuk melakukan impor gas.

"Ini sejak 2016 enggak beres-beres. Saya harus cari terobosan, ya tiga itu pilihannya. Kalau tidak segera diputuskan ya akan begini terus," ujarnya.

Baca juga: Dukung Arahan Jokowi, BPH Migas Siap Turunkan Harga Gas untuk Industri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Terinspirasi Langkah Indonesia, Like-Minded Countries Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Terinspirasi Langkah Indonesia, Like-Minded Countries Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Whats New
Manfaat Rawat Inap Jadi Primadona Konsumen AXA Financial Indonesia

Manfaat Rawat Inap Jadi Primadona Konsumen AXA Financial Indonesia

Whats New
Kemenko Marves: Prabowo-Gibran Bakal Lanjutkan Proyek Kereta Cepat sampai Surabaya

Kemenko Marves: Prabowo-Gibran Bakal Lanjutkan Proyek Kereta Cepat sampai Surabaya

Whats New
Layani Angkutan Lebaran Perdana, Kereta Cepat Whoosh Angkut 222.309 Penumpang

Layani Angkutan Lebaran Perdana, Kereta Cepat Whoosh Angkut 222.309 Penumpang

Whats New
Laba Unilever Naik 3,1 Persen Menjadi Rp 1.4 Triliun pada Kuartal I-2024

Laba Unilever Naik 3,1 Persen Menjadi Rp 1.4 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
IHSG Diprediksi Menguat Hari Ini, Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

IHSG Diprediksi Menguat Hari Ini, Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Imbal Hasil Obligasi Meningkat, Wall Street Ditutup Bervariasi

Imbal Hasil Obligasi Meningkat, Wall Street Ditutup Bervariasi

Whats New
Simak 5 Tips Raih 'Cuan' dari Bisnis Tambahan

Simak 5 Tips Raih "Cuan" dari Bisnis Tambahan

Whats New
Unilever Ungkap Dampak Boikot Produk pada Keberlangsungan Bisnis

Unilever Ungkap Dampak Boikot Produk pada Keberlangsungan Bisnis

Whats New
Daftar 7 Mata Uang Eropa dengan Nilai Tukar Terkuat

Daftar 7 Mata Uang Eropa dengan Nilai Tukar Terkuat

Whats New
Tingkatkan Layanan, Shopee Luncurkan Program Garansi Tepat Waktu

Tingkatkan Layanan, Shopee Luncurkan Program Garansi Tepat Waktu

Whats New
Kurs Mata Uang Vietnam ke Rupiah Sekarang

Kurs Mata Uang Vietnam ke Rupiah Sekarang

Whats New
[POPULER MONEY] Kata DHL soal Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta | Tesla Bakal PHK 2.688 Karyawan

[POPULER MONEY] Kata DHL soal Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta | Tesla Bakal PHK 2.688 Karyawan

Whats New
Cara Transfer BNI ke ShopeePay lewat ATM dan Mobile Banking

Cara Transfer BNI ke ShopeePay lewat ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Cara Beli Tiket PLN Mobile Proliga 2024 lewat HP

Cara Beli Tiket PLN Mobile Proliga 2024 lewat HP

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com