Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi dan Inefisiensi Birokrasi Penghambat Investasi, Bukan Tenaga Kerja...

Kompas.com - 20/01/2020, 11:27 WIB
Ade Miranti Karunia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden KSPI yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal mengatakan, dua hambatan utama investor enggan datang ke Indonesia adalah masalah korupsi dan inefisiensi birokrasi.

Pernyataan ini merujuk aksi demo penolakan omnibus law dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dilakukan mereka di depan Gedung DPR RI, hari ini.

"Jadi jangan menyasar masalah ketenagakerjaan," ucap dia, di Jakarta, Senin (20/1/2020).

Kaum buruh setuju dengan investasi. Namun, bila kesejahteraan buruh dikorbankan, kaum buruh dipastikan akan melakukan perlawanan.

Baca juga: Hari Ini Buruh Demo Tolak Omnibus Law, Cipta Lapangan Kerja, Apa Saja Isi RUU Itu?

Jika dalam praktiknya nanti, omnibus law menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, membebaskan buruh kontrak dan outsoursing (fleksibilitas pasar kerja), mempermudah masuknya TKA, menghilangkan jaminan sosial, dan menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.

Said Iqbal khawatir, keberadaan omnibus law cipta lapangan kerja justru akan merugikan kaum buruh.

"Jika pemerintah serius ingin menghilangkan hambatan investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, maka pemerintah jangan keliru menjadikan masalah upah, pesangon, dan hubungan kerja menjadi hambatan investasi," katanya.

Sementara itu, Ketua Harian KSPI Muhamad Rusdi mengatakan, masuknya investasi asing disertai dengan pemberian berbagai insentif adalah strategi Pemerintah Jokowi di periode pertama.

Baca juga: Aturan Upah Per Jam Masuk RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Hal itu terlihat dengan adanya 16 paket kebijakan ekonomi hingga terbitnya PP 78/2015 tentang Pengupahan yang membatasi kenaikan upah.

"Hasilnya, kebijakan tersebut dinilai gagal menggaet investasi sesuai target. Pertanyaannya mengapa strategi yang gagal tersebut akan diulangi kembali?" sebut dia.

"Kebijakan pemerintah menerbitkan PP 78/2015 untuk menahan laju kenaikan upah minimum telah berdampak pada turunnya daya beli buruh dan masyarakat. Selain itu juga berdampak pada stagnannya angka konsumsi rumah tangga," tambahnya.

Daya beli yang menurun, lanjut Rusdi, juga terjadi akibat dicabutnya berbagai macam subsidi. Seperti kenaikan BBM, listrik, gas, hingga kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Itulah sebabnya, kami juga menyuarakan penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Karena kebijakan tersebut akan menurunkan daya beli masyarakat," sebutnya.

Upah yang dibatasi dan pencabutan subsidi membuat turunnya daya beli buruh formal dan informal sekitar 130 Juta jiwa. Sehingga kaum pekerja yang jumlahnya ratusan juta itu tidak bisa menyerap atau membeli produk hasil industri, UKM, dan jualan kaki lima. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun terhambat.

"Kalau daya beli meningkat, maka konsumsi akan meningkat. Dan ketika konsumsi meningkat, maka hal itu akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Baca juga: Pemerintah Kembali Pastikan RUU Omnibus Law Tidak Turunkan Upah Minimum

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com