Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Produksi Tembakau Indonesia Cenderung Stagnan, Mengapa?

Kompas.com - 20/01/2020, 20:05 WIB
Wayan A. Mahardhika,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah produksi daun tembakau Indonesia cenderung stagnan dalam sepuluh tahun terakhir.

"Dari 2007 hingga 2017, jumlah produksi daun tembakau Indonesia relatif stagnan dan bahkan sempat mengalami penurunan yang cukup signifikan," ucap peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/1/2020).

Pada 2007 dan 2008, jumlah produksi daun tembakau Indonesia mencapai 164.851 ton dan 168.037 ton serta mengalami peningkatan di 2009 menjadi 176.510 ton.

Baca juga: Sempat Anjlok, Kini Harga Tembakau Kembali Normal

Jumlah ini mengalami penurunan pada 2010 menjadi 135.700 ton dan meningkat tajam di tahun berikutnya menjadi 214.600 ton dan bertambah menjadi 260.800 ton di 2012.

Penurunan kembali terjadi di 2013 menjadi 260.200 ton. Jumlah ini terus menurun menjadi 196.300 ton di 2014 dan 193.790 ton di 2015. 

Pada 2016 dan 2017, jumlah produksi tembakau turun menjadi 126.728 ton kembali meningkat menjadi 152.319 ton.

Pingkan menambahkan, jumlah produksi daun tembakau yang cenderung stagnan tersebut terjadi karena beberapa faktor, seperti kurangnya diversifikasi untuk menyerap daun tembakau bagi IHT selain untuk produk rokok.

Baca juga: Sah, Cukai Hasil Tembakau Naik 21,55 Persen Per 1 Januari 2020

Produk olahan IHT selain rokok antara lain mencakup cerutu, rokok lintingan dan berbagai bentuk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Dengan angka konsumen produk IHT yang mencapai 1,1 miliar konsumen di seluruh dunia, Tobacco Atlas mencatat pada  2016 saja konsumsi rokok pada tataran global mencapai sekitar 5,7 triliun batang.

Hal ini menyebabkan meningkatnya permintaan daun tembakau untuk IHT, termasuk di Indonesia. Namun dengan kondisi on-farm Indonesia yang stagnan tentu hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri.

Berbicara mengenai pertembakauan memang merupakan hal yang dilematis, menyadari adanya pain dan gain dari produk olahannya bagi masyarakat.

Sayangnya, pemerintah cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan petani tembakau dan tidak cukup memberikan insentif kepada mereka.

Baca juga: Industri Tembakau Juga Alami Disrupsi, Apa Bukti dan Solusinya?

Padahal, sebanyak 90 persen dari petani tembakau adalah mereka yang tergolong kepada small holder farmers atau petani berskala kecil. Sementara 10 persen lainnya adalah pihak swasta dan pemerintah.

“Pemerintah perlu memberikan stimulan kepada para petani karena selama ini mereka memiliki posisi tawar yang lemah saat berhadapan dengan industri,” ungkapnya.

Pemerintah, imbuh Pingkan, perlu memperjelas arah kebijakannya melalui penerbitan road map pertembakauan.

Selama ini pro dan kontra terkait kebijakan pertembakauan terus bergulir karena di satu sisi, tembakau berkontribusi besar dengan menghasilkan pendapatan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) dan menciptakan lapangan kerja dengan multiplier effect.

Pada saat yang sama, produk olahan dari tembakau yaitu rokok juga memiliki dampak negatif bagi masyarakat karena merupakan faktor penyumbang tingginya angka penderita penyakit tidak menular akibat merokok dan membawa kerugian ekonomi, terutama ke keluarga berpenghasilan rendah.

"Isu lainnya yang juga patut mendapat perhatian dari pemerintah ialah peranan komoditas tembakau ini juga menyebabkan neraca perdagangan yang negatif untuk Indonesia dikarenakan nilai impor tembakau lebih tinggi daripada nilai ekspor kita,” tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com