Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penguatan Rupiah Positif, BI Diminta Pertahankan Suku Bunga Acuan

Kompas.com - 21/01/2020, 13:00 WIB
Fika Nurul Ulya,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada awal perdagangan di pasar spot hari ini, Selasa, (21/1/2020) mengalami pelemahan.

Hingga pukul 11.00 WIB, rupiah berada pada level Rp 13.660 per dollar AS atau melemah 0,15 persen dibandingkan penutupan Senin Rp 13.639 per dollar AS.

Meski melemah, penguatan rupiah hingga berada di level Rp 13.660 per dollar AS merupakan apresiasi yang cepat. Baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo khawatir rupiah yang terlalu cepat menguat dapat membahayakan ekspor.

Baca juga: Rupiah Bisa Jadi Mata Uang Terkuat di Asia Tahun Ini?

Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengatakan, apresiasi rupiah yang cepat justru memiliki korelasi yang positif terhadap ekspor.

Untuk itu, dia berharap BI menahan suku bunga sehingga rupiah kembali terapresiasi lebih lanjut.

"Kami percaya BI akan memilih untuk menahan suku bunga dan membiarkan rupiah menguat lebih lanjut, daripada memangkas suku bunga dan melemahkan mata uang," kata Satria dalam laporannya, Selasa (21/1/2020).

Satria pun menjalankan model korelasi dasar antara nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan nilai ekspor, dengan jeda 6 bulan antara pergerakan real effective exchange rate (REER) dan dampaknya terhadap neraca perdagangan.

Baca juga: Didorong Masuknya Modal Asing, Rupiah Ditutup Menguat

Dia bilang, rupiah yang lebih kuat sebenarnya meningkatkan ekspor barang-barang manufaktur seperti mesin industri (HS84) dan peralatan listrik (HS85).

"Dalam pandangan kami, rupiah yang dinilai terlalu tinggi mungkin tidak selalu menyebabkan kerusakan pada ekonomi, karena sifat istimewa industri berorientasi ekspor Indonesia, yang membutuhkan impor barang modal tinggi," terang Satria.

Satria menuturkan, tren yang serupa juga terlihat pada ekspor primer seperti komoditas. Komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, karet, dan produk turunannya berdampak penting pada ekonomi nasional, mencapai 45 miliar dollar AS atau 29,5 persen dari nilai ekspor nonmigas RI.

Menariknya, nilai ekspor komoditas seperti minyak sawit (HS15) dan batubara (HS27) naik sejalan dengan apresiasi mata uang.

"Sementara yang sebaliknya terjadi pada kuartal IV 2018, rupiah melemah ke level Rp 15.200 per dollar AS bertepatan dengan penurunan harga komoditas global," ujar Satria.

Baca juga: Luhut: Dulu Orang Marahin Saya karena Ngomong Rupiah Bakal Menguat...

Pelemahan rupiah belum tentu kendalikan impor

Berdasarkan set data yang sama, Satria menyebut pergerakan nilai tukar mungkin tidak mempengaruhi impor barang-barang manufaktur.

Seperti diketahui, barang-barang manufaktur meliputi HS84 dan HS85 merupakan 2 kategori impor terbesar, bernilai 46,6 miliar dollar AS atau 31,3 persen dari total nilai impor nonmigas RI yang sebesar 148,8 miliar dollar AS.

"Pada kenyataannya, hubungan REER-impor mungkin tidak signifikan secara statistik sama sekali," ucap dia.

Satria bilang, kenyataan tersebut juga konsisten dengan studi tahun 2019 yang dilakukan BI dengan IMF. Studi itu menyimpulkan, apresiasi rupiah mungkin tidak menaikkan harga barang-barang ekspor dalam jangka pendek atau 2 kuartal.

"(Kesimpulan lainnya) dapat menekan harga barang-barang impor hanya di jangka menengah hingga panjang," sebut Satria

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com