Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Edhy Prabowo Jadi Cabut Larangan Cantrang Era Susi?

Kompas.com - 21/01/2020, 15:33 WIB
Muhammad Idris,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berencana merevisi aturan yang melarang penggunaan alat tangkap cantrang.

Penggunaan cantrang diusulkan untuk dibuka kembali bagi kapal-kapal nelayan yang akan beroperasi di zona ekonomi eksklusif Laut Natuna Utara.

Langkah itu dilakukan sebagai salah satu cara pemerintah mengamankan perairan Natuna Utara, lewat pengiriman kapal-kapal nelayan asal Pantura.

Larangan cantrang sebelumnya dikeluarkan di tahun 2016 saat Menteri KKP dijabat Susi Pudjiastuti lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016.

Baca juga: Edhy Prabowo Soal Impor Garam: Saya Pikir Ini Enggak Perlu Diributkan

Dikutip dari Harian Kompas, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Zulficar Mochtar mengatakan, pihaknya sedang melakukan kajian terhadap Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 71/2016.

”Sesuai permintaan pemangku kepentingan, nanti akan ada uji petik yang melibatkan berbagai pihak. Hasil kajian nantinya jadi dasar (revisi peraturan tentang cantrang),” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan Perikanan Nilanto Perbowo mengungkapkan aturan revisi larangan cantrang memang sudah masuk dalam pembahasan di internal KKP.

”Revisi aturan larangan cantrang kini dalam pembahasan,” kata Nilanto.

Baca juga: Kaji Penggunaan Cantrang, Edhy Prabowo Evaluasi 29 Aturan Era Sus

Pengkajian ulang terhadap peraturan yang melarang pemakaian cantrang merupakan bagian dari revisi terhadap 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan Perikanan.

Revisi mencakup 1 peraturan pemerintah, 23 peraturan menteri, 1 keputusan menteri, 3 keputusan direktur jenderal, dan 1 surat edaran. Dari jumlah itu, 17 aturan di antaranya ada di sektor perikanan tangkap.

Ditolak nelayan Natuna

Sebelumnya, Sejumlah perwakilan kelompok nelayan dari tujuh kecamatan di Natuna, mengaku keberatan dengan pengerahan nelayan asal Pantura ke Natuna.

Baca juga: Saat Rindu Jajanan 90-an Jadi Peluang Usaha Meraup Jutaan Rupiah

Mereka sepakat meminta pemerintah mengkaji kembali rencana mobilisasi ratusan kapal nelayan dari pantura Jawa karena dinilai bisa memicu konflik baru.

Ketua Rukun Nelayan Kelurahan Sepempang di Kecamatan Bunguran Timur Hendri mengatakan, cantrang yang lazim digunakan nelayan pantura Jawa efektif di kedalaman 20-50 meter.

Padahal, zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara berkedalaman 100 meter lebih.

”Kalau situasinya begitu, pasti mereka lebih banyak menangkap ikan di zona 30 mil ke bawah. Itu memicu konflik daerah tangkapan dengan nelayan tradisional sini,” ujarnya.

Baca juga: Komisi XI DPR Bentuk Panja Industri Keuangan, Awasi Jiwasraya hingga Asabri

Di Natuna, mayoritas nelayan mengandalkan alat tangkap tradisional berupa pancing untuk menangkap ikan karang dan tongkol. Warga Natuna mempertahankan cara tangkap tradisional demi menjaga kelestarian sumber daya ikan.

Daripada mendatangkan nelayan dari pantura, kata Hendri, pemerintah bisa memberdayakan nelayan Natuna. Bantuan yang diharapkan berupa kapal berukuran 8-10 gros ton (GT). Kapal itu sesuai kebutuhan dan cara tangkap selama ini.

”Sarana pendukung kios bahan bakar dan pabrik es juga masih langka. Setiap akan melaut, nelayan di Natuna biasanya harus mengantre isi bahan bakar 2-3 hari,” ujar Hendri.

Baca juga: Menteri KKP Diminta Kaji Ulang Legalisasi Cantrang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com