Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Hari Jokowi-Ma'ruf, Omnibus Law, Didukung Pengusaha Ditolak Buruh

Kompas.com - 28/01/2020, 12:58 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

Shinta menjelaskan, dengan maslah pelemahan ekonomi maka saat ini kompetisi akan menjadi semakin ketat dan setiap pengusaha berebut mendapatkan kue yang lebih kecil.

"Ini kan slowing down tapi kompetisinya makin lebih ketat. Jadi kita harus berkompetisi untuk mendptkan kue yang lebih kecil dan kita harus menjaga supaya Indonesia kompetitif," jelas Shinta.

Shinta menjelaskan, Indonesia punya pasar yang besar dalam ekspor. Maka dari itu, selain masalah perijinan dan insentif maka pemanfaatan sumber daya yang ada juga perlu ditingkatkan.

"Tapi kembali lagi kesiapan dari produk ekspor di Indonesia agar kita bisa memanfaatkan. Ini yang nantinya akan menjadi kuncinya. Slow down economy kita pasti kena, tapi kita juga mau menjaga volume ekspor yang ada," jelas Shinta.

Baca juga: Komisi IX DPR RI Dukung Buruh Kritisi Omnibus Law

Pendapat ekonom

Ekonom senior Indef Faisal Basri menilai, kebijakan sapu jagat yang meliputi unsur perpajakan dan cipta lapangan kerja tersebut berisiko hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Sebab menurut dia, keterlibatan unsur tenaga kerja seperti buruh dalam perumusan kebijakan tersebut sangat minim.

"Jangan sampai omnibus law ini kesannya untuk memenuhi seluruh permintaan dunia usaha terkait cost tenaga kerja. Bisa jatuh Pak Jokowi," ujar Faisal di Jakarta, Rabu (18/12/2019).

Dia pun menilai, berbagai indikator perekonomian yang ingin dikejar melalui kebijakan omnibus law sebenarnya tidak terlalu buruk.

Contohnya saja, untuk kinerja investasi dengan porsi investasi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 32,3 persen.

Faisal menilai, porsi investasi Indonesia sudah cukup besar. Sementara dari sisi investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) Indonesia juga memiliki kinerja yang cenderung baik.

Baca juga: Demo di Depan DPR, Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Dengan porsi rata-rata sebesar 2,1 persen terhadap PDB, Indonesia secara nominal masuk ke dalam 20 besar negara penerima FDI tunai terbesar sejak dua tahun yang lalu.

"Di tahun 2018 kita di posisi 16 dan tahun sebelumnya di posisi 18, jadi ada kenaikan dari 2017 ke 2018," jelas Faisal.

Ia menilai, pemerintah daerah dan buruh menjadi pihak-pihak yang rentan dalam penyusunan kebijakan sapu jagat ini.

Jika pajak daerah yang menjadi otoritas pemerintah daerah berhak diatur oleh pemerintah pusat di dalam omnibus law, maka berpotensi menggerus pendapatan daerah.

Sementara untuk buruh, Faisal mengatakan hingga saat ini dirinya belum melihat ada intensi keberpihakan terhadap kaum buruh.

"Ini pusat lagi dominasi penguasa dan pengusaha. Diwakilkan dalam kementerian sebagai wakil menteri, selesai sudah. Buruh hempas. No one care. Nggak ada perwakilan yg membantu buruh, enggak ada," ujar Faisal.

"Misal jaminan sosial buruh nggak dibicarakan. Kalau bisa dipotong. UMP nggak ada, suka-suka pemerintah pusat tentukan upah," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com