Namun, selayaknya sebuah tata urutan regulasi yang hierarkis, sebuah regulasi pokok terkadang tidak optimal saat diimplementasikan, antara lain justru karena isi peraturan yang lebih rendah justru tidak mendukung atau malah bertabrakan.
Produktivitas penyusunan peraturan daerah oleh 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia mencuat menjadi persoalan.
Data dari Kementerian Dalam Negeri, sejak 2015 hingga Juli 2019 sudah terdapat 1.758 perda provinsi yang disahkan, dengan 290 di antaranya merupakan perda yang terkait dengan investasi.
Realitasnya kemudian, komitmen politik lembaga legislatif dan eksekutif di daerah masih belum sejalan dengan semangat peningkatan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Alhasil, masih banyak perda yang masih bermasalah terkait dengan aspek yuridis, substansi, hingga prinsip.
Temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang dilansir pada November 2019, setidaknya terdapat 347 peraturan daerah (perda) yang bermasalah dan memiliki potensi menghambat investasi.
Rinciannya adalah sebanyak 235 perda bermasalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 terkait dengan perizinan, 7 terkait dengan masalah ketenagakerjaan, dan 42 perda dengan urusan lain-lain.
Baca juga: Tak Cukup dengan Omnibus Law, Tarik PMA Juga Perlu SDM Unggul
Sebagai contoh, salah satu ketentuan yang bermasalah adalah kawasan bebas merokok dan batasan iklan rokok yang memperlihatkan kerancuan administrasi pemerintahan negara kesatuan.
Tidak semestinya perda bisa memuat pengaturan yang melebihi (dan bahkan bertentangan) dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Sejumlah regulasi daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan dan batasan iklan tembakau memperlihatkan adanya kon?ik dengan peraturan yang lebih tinggi, ketentuan yang inkonsisten, serta terdapat ketentuan yang multitafsir.
Di sini, pokok soalnya adalaah ketikdapastian hokum berusaha yang membawa risiko bisnis. Pemda membuat aturan yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan kerangka regulasi nasional yang semestinya jadi rujukan.
Salah satunya adalah Peraturan Perda Kota Bogor No. 10 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR).
Salah satu isi Perda tersebut adalah larangan pemajangan (display) produk rokok, yang mana tentunya klausul itu bertentangan dengan aturan yang menyatakan bahwa rokok adalah produk legal sehingga sifatnya pun halal.
Sejumlah aturan potensial terlanggar oleh Perda tersebut, seperti PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 71/PUU-XI/2013.
Dampak ketidakpastian usaha terlihat pada respon sejumlah pedagang tradisional yang mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 2019 (tercatat dengan nomor perkara 4P/HUM/2020).