Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pabrik Pengolahan Ikan di Bitung Mati Karena Kebijakan Susi, Mengapa?

Kompas.com - 17/02/2020, 20:17 WIB
Fika Nurul Ulya,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

BITUNG, KOMPAS.com - Bangunan pabrik yang didominasi warna putih itu sepi. Bau amis ikan sudah tak lagi tercium sepanjang area pengolahan.

Menurut pemerintah Bitung, pabrik pengolahan ikan tuna kalengan tersebut berhenti beroperasi sejak Susi Pudjiastuti masih menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.

Walikota Bitung Max J Lomban mengatakan, matinya pabrik pengolahan ikan tersebut karena kebijakan Susi yang dianggap tidak sesuai dengan kota di bagian utara Sulawesi Utara itu.

"Karena regulasi itu tidak sesuai dengan apa yang terjadi di kota Bitung," kata Max di Bitung, Sulawesi Utara, Senin (17/2/2020).

Baca juga: Konektivitas Laut Bitung-Davao Picu Peningkatan Ekspor ke Filipina

Lebih lajut Sekretaris daerah (Sekda) Kota Bitung, Audy R R Pangemanan mengatakan, regulasi yang dimaksud antara lain perizinan kapal yang memakan waktu lama dan tidak diperbolehkannya bongkar muat (transhipment) di tengah laut.

Dia menuturkan, perizinan kapal yang memakan waktu 3-4 bulan tersebut membuat tidak adanya stok ikan untuk diolah di pabrik. Padahal, kapasitas produksi pabrik mencapai 1.440 ton per hari.

"Sementara nelayan kecil enggak akan mampu untuk (menangkap) segitu. Jadi butuh nelayan besar, otomatis, kapal-kapal besar yang gede. Kendalanya kapal besar enggak bisa beroperasi ya itu, perizinan yang lama," kata Audy di kesempatan yang sama.

Uniknya, sekitar 100 meter dari pabrik mati itu, ada pabrik pengalengan ikan tuna yang masih beroperasi, yaitu PT Samudra Mandiri Sentosa (PT SMS).

Baca juga: Menteri Susi Dorong Jepang Bangun Pabrik Pengolahan Ikan di Indonesia

Yang berbeda, pabrik yang masih bisa beroperasi itu memiliki armada penangkapan sendiri sehingga mampu mengakomodir ketersediaan stok.

"Karena mereka memiliki armada penangkapan sendiri dan pengolahan sendiri. Yang lain kan tidak. Yang lain cuma ada untuk pengolahan," terang Audy.

Namun, Audy bilang hanya 20 persen dari pabrik tersebut yang masih mampu beroperasi. Sama seperti pabrik yang mati, pabrik yang mengekspor hasil olahannya ke Belanda itu harus memperkecil kapasitasnya karena kurang pasokan.

"Ini sebelumnya ada 6 tapi yang berfungsi cuma satu karena kurang pasokan. Tapi (pabrik ini juga) hanya mempertahankan buyer, masalah keuntungan masih kecil," jelas Audy.

Baca juga: Menteri KKP: Pencurian Ikan ke Depan Akan Lebih Modern

Langkah Menteri Edhy

Adapun saat ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebenarnya telah memangkas perizinan kapal dari yang sebelumnya berbulan-bulan menjadi hanya 1 jam.

Sementara itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti punya alasannya tersendiri mengambil kebijakan-kebijakan tersebut.

Seperti kebijakan soal larangan bongkar muat misalnya, dia ingin memperkecil transaksi ilegal yang kerap terjadi di tengah laut, tak hanya hasil laut ilegal, tapi juga transaksi ilegal lain yang mengikutinya seperti penyelundupan senjata dan narkoba.

Namun menurut Audy bila masalahnya terkait penyelundupan, seharusnya pengawasannya yang lebih diperketat. Artinya, perlu ada aturan yang lebih rinci soal bongkar muat di tengah laut ini.

"Mengenai hal itu, pengawasannya diperketat dong," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com