Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Tambang: 3,8 Juta Ton Nikel Idle, Enggak Tahu Mau Diapain

Kompas.com - 28/02/2020, 19:01 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyebut ada 3,8 juta ton nikel dengan kadar 1,7 persen yang tidak jelas statusnya, akibat larangan ekspor bijih nikel sejak awal tahun 2020.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan, bijih nikel tersebut semula rencananya akan diekspor.

Namun, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, 3,8 juta ton nikel tersebut tidak bisa diekspor.

Baca juga: Erick Thohir Angkat Mantan Anak Buah Sri Mulyani Jadi Komut Pegadaian

Pada saat bersamaan, mayoritas smelter dalam negeri tidak ingin menyerap bijih nikel dengan kadar 1,7 persen.

"APNI mendata di 7 provinsi melakukan kuota ekspor, itu ada sekitar 3,8 juta (ton), di kadar 1,7 (persen) dan saat ini idle, enggak tahu mau diapain, mungkin kalau nomplok jadi pulau kali ya, masalahnya smelter enggak terima," ujarnya, di Jakarta, Jumat (29/2/2020).

Lebih lanjut, meskipun masih ada smelter yang ingin menyerap nikel dengan kadar 1,7 persen, harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga patokan mineral (HPM) free on board (FOB).

"Dengan kadar 1,7 persen FOB terakhir kami masih menjual di 46 dolar AS (per ton), 1,7 persen diterima smelter lokal 10 dolar AS (per ton) sudah bagus, itu pun kalau diterima," kata dia.

Baca juga: Saat Sri Mulyani Gelisah Pikirkan Rencana Pindah Ibu Kota

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com