Pajak mengenalnya sebagai diskonto, sementara pelaku pasar mengenalnya sebagai capital gain.
Dalam investasi obligasi, capital gain dapat berasal dari 2 sumber, Pertama dari transaksi jual beli, misalkan Anda beli di harga Rp 100 juta dan menjualnya di harga Rp 103 juta.
Kedua, dari pembelian obligasi misalkan beli di harga Rp 98 juta dan memegangnya hingga jatuh tempo sehingga menerima Rp 100 juta.
Besaran pajak untuk diskonto sama dengan kupon obligasi yaitu 15 persen.
Baca juga: Sri Mulyani Bakal Rilis Stimulus Pajak untuk Redam Dampak Corona, Ini Bocorannya
Diskonto obligasi dilaporkan pada saat tahun diterima. Jika beli di tahun 2018 dan menjualnya di 2019, maka diskonto dilaporkan pada tahun 2019. Untuk yang beli hingga jatuh tempo, maka dilaporkan pada tahun jatuh tempo.
Dengan melanjutkan contoh di atas untuk transaksi jual beli, maka pelaporannya :
• Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final
• Sumber / Jenis Penghasilan :
• Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/ Penghasilan Bruto : Rp 3.000.000 (Rp 103 juta – Rp 100 juta)
• PPh Terutang : Rp 450.000 (Rp 3 juta kali 15 persen)
Pada prakteknya, ketika investor beli di Rp 100 juta dan jual di Rp 103 juta, maka yang akan dia terima adalah Rp 103 juta - pajak 450.000 = Rp 102.550.000 ditambah accrued interest (bunga berjalan) jika ada.
Baca juga: Ingat Lapor SPT Tahunan, Ditjen Pajak Memantau Kepatuhan Anda
Untuk penerimaan accrued interest, pelaporannya mengacu ke contoh pelaporan kupon obligasi di atas.
Bagaimana jika rugi? Misalkan beli Rp 100 juta dan jual di Rp 98 juta.
Dalam hal ini terjadi, maka tidak perlu dilaporkan dalam bagian diskonto. Kerugian investasi di pasar modal juga tidak mengurangi kewajiban pajak secara keseluruhan.
Banyak masyarakat yang masih salah belum paham tentang pelaporan saham perusahaan tbk termasuk investor saham itu sendiri. Pertama, saham tbk itu pajaknya bersifat final. Kedua, yang dilaporkan adalah nilai penjualannya saja.
Besaran pajak atas penjualan saham adalah 0,1 persen dari nilai transaksi. Nilai biasanya sudah dibayarkan oleh investor dalam biaya jual beli saham.
Angka ini juga yang menjadi dasar selisih biaya transaksi beli dan jual. Misalkan beli 0,2 persen dan jual 0,3 persen.
Baca juga: Kemenkeu Targetkan Kepatuhan Pelaporan SPT Naik hingga 85 Persen
Misalkan seorang investor memiliki modal Rp 100 juta. Transaksi yang dia lakukan adalah sebagai berikut :
Maka pelaporannya adalah sebagai berikut:
• Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final
• Sumber / Jenis Penghasilan :
• Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/ Penghasilan Bruto : Rp 200 juta (penjumlahan transaksi nomor 2 dan 4)
• PPh Terutang : Rp 200.000 (Rp 200 juta kali 0,1 persen)
Baca juga: Ingin Lapor SPT Pajak via Online? Begini Caranya
Transaksi yang belum dijual (nomor 6) tidak perlu dilaporkan. Untung atau rugi juga tidak relevan dalam hal pajak karena yang dilaporkan merupakan nilai penjualan bukan keuntungan.
Angka PPh terutang juga sudah dibayarkan. Anda cukup menyimpan Trade Confirmation dari perusahaan sekuritas sebagai lampiran jika sewaktu-waktu diperiksa. Namun sama seperti obligasi, tidak perlu dilampirkan pada saat membuat SPT.
Melanjutkan contoh di atas, misalkan pada 4 Maret 2019, ternyata saham WXYZ membagikan dividen sebesar Rp 10 juta. Maka pelaporannya sebagai berikut :
• Bagian A. Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan atau bersifat Final
• Sumber / Jenis Penghasilan :
• Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/ Penghasilan Bruto : Rp 10 juta
• PPh Terutang : Rp 1.000.000 (Rp 10 juta kali 10 persen)
Tarif pajak untuk dividen pemegang saham non pengendali (kepemilikan di bawah 25 persen) adalah sebesar 10 persen. Sama seperti kupon obligasi, pada saat dividen ini dibayarkan juga sudah dipotong pajaknya sehingga yang diterima hanya Rp 9 juta.
Informasi mengenai dividen bisa dicek pada informasi Corporate Action yang dikirimkan oleh perusahaan sekuritas.
Baca juga: Ini Denda Telat Lapor SPT Tahunan Pajak di 2020
Ada berbagai jenis reksa dana dan produk pengelolaan investasi.