HONG KONG, KOMPAS.com - Perekonomian China telah menunjukkan beberapa gejala perbaikan setelah sempat mengalami tekanan hebat akibat pandemik virus corona.
Namun demikian, proyeksi ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut dalam beberapa waktu ke depan masih belum jelas.
Bahkan, negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu diprediksi tidak mengalami pertumbuhan ekonomi tahun ini. Jutaan pekerja pun terancam kehilangan pekerjaannya.
Baca juga: PDB China Diprediksi Turun ke 4 Persen Pada Kuartal I 2020
Dilansir dari CNN, Kamis (2/4/2020), perekonomian China tahun ini diproyeksi haya tumbuh sekitar 1 persen hingga 2 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2019 yang sebesar 6,1 persen.
Bahkan, skenario terburuknya, Bank Dunia menyatakan negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 14 triliun dollar AS itu tak akan mengalami pertumbuhan.
Dengan demikian, China akan mencatatkan rekor kinerja perekonomian terburuk dalam 44 tahun terakhir, jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan resesi global 2008-2009 atau bahkan tahun 1990 lalu.
Kala itu, negara-negara Barat memberlakukan sanksi kepada China akibat kasus pembantaian Tiananmen Square.
Baca juga: Ekonomi Mulai Bergerak, Bank Sentral China Pangkas Suku Bunga Acuan
Analis UBS dan Goldman Sachs pun dalam beberapa waktu lalu baru saja memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 1,5 persen dan 3 persen masing-masing.
Adapun pejabat China yang turut serta menetapkan target pertumbuhan ekonomi China sejak 1985 tak yakin dengan kinerja perekonomian negaranya. Salah satuw pejabat di bank sentral China, People Bank of China (PBoC) menyatakan, pemerintah tidak akan menetapkan target pertumbuhan tahun ini.
"Akan sulit untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4 persen hingga 5 persen tahun ini. Banyak pihak memproyeksi pertumbuhan ekonomi akan tertekan di kisaran 1 persen atau 2 persen tahun ini. Semua proyeksi tersebut mungkin terjadi," ujar anggote komite moneter di PBoC Ma Jun.
Mengingat ketidakpastian yang sangat besar dalam prospek ke depan, China pun kesulitan untuk menentukan besaran stimulus fiskal dan moneter yang harus digelontorkan.
Baca juga: China Mulai Bangkit dari Corona, Erick Thohir Tak Mau RI Ketinggalan
Sementara di sisi lain, Ma menilai target pertumbuhan yang tidak realistis bisa mendorong pemerintah daerah untuk membelanjakan investasi infrastruktur yang justru tidak banyak membantu mengurangi pengangguran atau meningkatkan mata pencaharian masyarakat dalam jangka pendek.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.