Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER DI KOMPASIANA] PSBB dan Local Lockdown | Mudik Lebaran | Bob Hasan Wafat

Kompas.com - 04/04/2020, 16:14 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA-- Setidaknya ada 3 peristiwa terpopuler pada pekan ini yang menarik di Kompasiana: dari imbauan untuk tidak mudik pada tahun ini, pemberlakuan Pembatasan Skala Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah, dan wafatnya Bapak Atletik Indonesia Bob Hasan.

Imbauan tentang pelarangan mudik sejatinya digunakan untuk menekan sebaran virus corona ke kampung halaman ketika mudik. Pasalnya, setiap pemudik yang tiba di kampung halaman maka ia akan berstatus Orang Dalam Pengawan (ODP) dan mesti melakukan karantina mandiri selama 14 hari.

Selain itu, Presiden Joko Widodo telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang disampaikan melalui Keterangan Pers tentang Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di Istana Bogor, Selasa (31/03).

Kemudian yang terakhir merupakan kabar duka yang datang dari Bapak Atletik Indonesia, Bob Hasan, yang meninggal dunia di RSPAD setelah lama mengidap kanker paru-paru. Jasanya selama lebih dari 40 tahun memimpin Persatuan Atlet Seluruh Indonesia (PASI) tentu tidak bisa kita lupakan.

Berikut adalah 5 artikel terpopuler dan menarik di Kompasiana selama sepakan ini:

1. Sulitnya Menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Desa

Pada akhirnya pemerintah lebih memilih untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) daripada karantina wilayah.

Akan tetapi, mungkin peraturan tersebut akan sulit dilakukan di desa-desa. Apalagi yang menyangkut akan kegiatan keagamaan dengan jumlah yang cukup banyak.

Kompasianer Muna Hasyim menceritakan apa yang ia alami ketika tengah melakukan ibadah jumat di dekat rumahnya.

"Ketika salat Jumat kemarin di desa, saya mendengar irama batuk yang keras. Suara batuk itu terdengar jelas bersamaan dengan khatib yang sedang berkhotbah di atas mimbar," tulisnya.

Hal tersebut berbeda sekali dengan Masjid Agung Al-Akbar, Surabaya, misalnya yang tetap menjalankan salat Jumat namun dengan tindakan preventif cukup ketat. (Baca selengkapnya)

2. Melihat "Local Lockdown" di Sejumlah Kampung di Sleman dan Konsekuensi yang Wajib Diperhatikan

Di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa kampung terlihat telah membatasi akses masuk dan keluar, baik untuk warganya maupun masyarakat umum.

Namun, yang kini masih jadi permasalahan adalah bagaimana mesti menjelaskan ada daerah A berbeda dengan daerah B. Lalu di daerah C hanya untuk membatasi akses masuk atau akses keluar seperti yang ditulis Kompasianer Hendra Wardhana.

Kerumitan lockdown, lanjutnya, bukan saja karena tidak dikenal dalam undang-undang kita, tapi lebih karena belum tersedia pengalaman nyata secara kolektif pada masyarakat kita yang benar-benar sesuai mengenai lockdown.

"Inisiatif mandiri sejumlah komunitas dan kampung untuk melakukan lockdown lokal bukan tanpa dilema. Pembatasan keluar masuk orang bisa dimengerti sebagai upaya untuk menekan penyebaran Covid-19. Namun, pada saat yang sama membawa konsekuensi yang perlu diperhatikan," jelas Kompasianer Hendra Wardhana, seperti yang terjadi di Sleman. (Baca selengkapnya)

3. Di Jakarta Tak Dapat Uang, Mau Pulang Kampung Dilarang

Para perantau biasanya tinggal berkelompok di tempat rantauannya. Jikapun mereka berdagang, biasanya ada yang sesama penjual pecel lele, sesama penjual kopi instan berkeliling dengan sepeda.

Kegiatan mudik yang biasanya dilakukan perantau sebelum bulan puasa dan jelang lebaran kini telah diimbau untuk tidak lebih dulu mudik untuk alasan menekan angka sebaran virus corona.

Melawan virus yang menyebar ke semua daerah tentu jauh lebih sulit ketimbang bila virus itu bisa dilokalisir di suatu daerah saja, katakanlah di Jakarta dan kota-kota sekitarnya.

Ini kemduian menjadi polemik baru. Pasalnya, mereka yang tidak mudik akan tetapi kegiatan usaha di tempat rantau amat sulit. Relatif menurun.

"Dengan suasana keguyuban di kampung halaman, bila sekadar utuk makan, mungkin bisa mereka dapatkan. Apa yang tumbuh di kampung seperti singkong, jagung, sayuran, dan sebagainya, bisa diolah menjadi makanan," tulis Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang. (Baca selengkapnya)

4. Melihat Lebih Dekat Manajemen Krisis Virus Corona di Jerman (Bagian 1)

Kompasianer Naviz mengalami betul ungkapan-ungkapan "tiada negara yang 100 persen siap menghadapi meledaknya wabah virus Corona".

Sebab, ketika tengah berada di Jerman, ia sendiri paham meski di sana sudah cukup terkenal dengan sistem kesehatan terbaik di dunia, namun ketika dalam satu ruang dan waktu bersamaan banyak pasien yang harus dirawat di rumah sakit, maka cepat atau lambat pun akan mengalami kewalahan.

Akan tetapi, yang membuat berbeda adalah penanganan manajemen setiap negara dalam menghadapi masalah ini.

Pada 19 Maret, data aktual dari Gesundheitsministerien der Bundeslaender menyebutkan 12.041 warga Jerman terinfeksi, dengan 30 orang meninggal dan 71 sudah dinyatakan sembuh.

"Deteksi dini di sini memiliki peran sangat penting dalam memperlambat penyebaran virus Corona. Setiap orang di Jerman diwajibkan untuk memiliki asuransi kesehatan baik yang umum ataupun privat. Contohnya saya menggunakan Asuransi DAK, rata-rata tiap bulan diharuskan membayar sekitar 80 hingga 100 euro," tulis Kompasianer Naviz dari Jerman. (Baca selengkapnya)

5. Bob Hasan Wafat, Tongkat Estafet, dan PR di Asian Games

Selama lebih dari 40 tahun, Bob Hasan menjadi ketua umu Persatuan Atletik Seluruh Indonesia. Selama itu pula Bob Hasan banyak berkorban.

Pengusaha yang identik dengan kayu ini, tulis Kompasianer Kholil Rokhman, tak jarang merogoh koceknya sendiri untuk perkembangan atletik di Indonesia.

Wafatnya Bon Hasan di usia 89 tahun, tentu menjadi duka yang mendalam bagi dunia atletik Indonesia. Setelah duka ini datang, kemudian akan muncul pertanyaan siapa yang akan jadi pengganti Bob Hasan?

"Pemimpin yang baru diharapkan bisa menerima tongkat estafet dengan sangat baik. Mampu membawa dunia atletik lebih baik lagi," lanjutnya. (Baca selengkapnya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com