Misalnya si A transaksi dalam satu tahun senilai empat juta rupiah. Lalu si B hanya satu juta rupiah. Harusnya memiliki bobot suara yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Sebab si A, dengan berbagai upayanya telah menunjukkan loyalitas yang tinggi. Si D yang rajin meminjam dan si E yang rajin menabung harus diberikan bobot yang adil bagi keduanya. Dan seterusnya.
Apa yang saya tawarkan bukan lagi sekenario konvensional satu orang satu suara. Sebab variabel orang saja tidak mampu membaca kualitasnya selama menjadi anggota koperasi.
Demokrasi reputasional yang saya maksud adalah sintesa dari jumlah orang (kuantitatif) dan reputasi tiap orang (kualitatif). Misalnya di Friesland Campina di mana jumlah suara dihubungkan dengan kapasitas produksi susunya (Birchall, 2017).
Rumus pembototannya bisa seperti ini: V (vote) = Rx (reputation member) / ∑ Rn (reputation of all member) x 100%, hasilnya adalah bobot suara setiap anggota dalam persentase yang berbeda satu dengan lainnya.
Ilustrasinya si A memiliki 5 persen suara, si B 1 persen, si C 0,5 persen dan si D 1 persen. Pada koperasi yang jumlah anggotanya banyak, maka persentase itu akan terbagi proporsional ke masing-masing anggota sesuai dengan reputasinya selama satu tahun. Dan bobot suara masing-masing anggota tiap tahunnya bisa berubah.
Saat pemungutan suara dilakukan, maka anggota yang bereputasi sangat baik tentu saja memiliki bobot suara lebih besar daripada yang hanya cukup baik. Menurut saya di situlah privilege menjadi anggota koperasi tumbuh. Berbeda dengan praktik konvensional yang melahirkan—apa yang saya sebut dengan—inflasi demokrasi, di mana semua anggota memiliki hak yang sama tanpa melihat partisipasinya.
Karena inflatif, jadilah tak lagi sakral. Anggota tak memiliki kebanggaan yang cukup saat hadiri Rapat Anggota, selain ajang bagi-bagi hadiah atau doorprize semata. Itu seperti demokrasi yang diobral, yang diberikan sekali waktu saat yang bersangkutan tercatat sebagai anggota. Dan tak ada upaya khusus agar bagaimana hak suaranya bisa lebih berkualitas, naik atau turun.
Inovasi model demokrasi reputasional seperti di atas menurut saya lebih relevan digunakan koperasi yang juga adalah entitas bisnis. Demokrasi langsung satu orang satu suara terbukti tak bisa menjawab masalah free-rider dan isu kompetensi pengambilan keputusan. Demokrasi langsung bahkan bisa melahirkan diktator mayoritas.
Sebaliknya, demokrasi mufakat, bisa dibajak oleh elit-elit organisasi yang memiliki informasi yang cukup atas suatu masalah. Pada gilirannya bisa lahirkan tirani minoritas, atau yang disebut Euricse, salah satu lembaga kajian koperasi di dunia sebagai groupthink problem (Stefancic, 2017).
Baca juga: Kemenkop UKM Selidiki Kasus Gagal Bayar Koperasi Tinara di Banyuwangi
Demokrasi reputasional bekerja dalam dua tegangan kreatif itu. Bagaimana menjawab tantangan partisipasi seluas mungkin anggota dan di sisi lain, bagaimana yang berkumpul adalah anggota yang kompeten. Sehingga di masa depan akan terjadi suatu koperasi beranggotakan 5000 orang. Namun hanya 3000 orang yang bereputasi baik. Mereka lah yang pantas hadir di Rapat Anggota, baik secara langsung maupun perwakilan.
Bila perwakilan, sebutlah 100 delegasi, maka masing-masing delegasi akan mewakili persentase suara yang berbeda dari basis kelompoknya masing-masing.
Apa yang paling menarik dari model demokrasi reputasional ini adalah kemampuannya memadukan antara sisi bisnis dan sisi demokratis koperasi. Dengan model seperti ini, anggota terdorong untuk melakukan partisipasi minimum agar bisa ikut Rapat Anggota. Dan partisipasi optimum sehingga mampu mempengaruhi keputusan sesuai dengan kepentingannya.
Dalam konteks seperti itu, model ini memberikan insentif immaterial yang lebih bagus daripada model konvensional.
Agar masyarakat dapat menyoba model seperti itu dengan nyaman, Pemerintah perlu meregulasinya. Cukup misalnya diatur lebih lanjut tentang Pasal 24 di mana mekanismenya ditentukan masing-masing ke koperasi. Menurut saya Peraturan Menteri Koperasi cukup untuk meregulasi hal seperti itu.
Jadi bila perseroan memiliki logika Vote (V) = Share (S) = Risk (R), maka koperasi logikanya adalah Vote (V) = People (P) = Reputation (R). Sebab di situlah hakikat manusia, seperti kata pepatah kuno, “Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan reputasi”. Mari berinovasi!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.