JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam mengatakan ada tiga cara agar pemerintah mampu menekan defisit fiskal yang melebar akibat tekanan pandemi virus corona (Covid-19).
"Pertama, pemerintah hendaknya mendahulukan penerbitan surat utang atau SUN domestik berdenominasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh Bank Indonesia," katanya kepada Kompas.com, Jumat (10/4/2020)
Alasannya, sentimen pasar keuangan global saat ini dinilai masih sangat negatif akibat ketidakpastian yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Kondisi ini dinilai membuat minat pembeli sangat rendah.
Baca juga: Curhat Luhut, dari Jadi Prajurit hingga Wejangan Gus Dur...
Menurutnya, jika pemerintah tetap memaksakan menerbitkan SUN global di tengah kondisi sekarang ini, maka bunga kuponnya akan lebih tinggi dan tenor juga akan menjadi lebih lama. Itu terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun baru-baru ini.
"Padahal, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SUN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar. Dengan begitu pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SUN yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang," jelas Piter.
Piter menilai, ekspansi moneter yang terjadi melalui pembelian SUN Domestik oleh BI diyakini tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang berlebihan. Sebab, tekanan inflasi di tengah wabah Covid-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan.
Baca juga: Ada PSBB Jakarta, Bagaimana Operasional Bandara Soetta dan Halim?
Usulan kedua dari Core, meskipun rupiah dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global, pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah suplai dollar AS dengan menerbitkan SUN global.
Sebab, posisi cadangan devisa saat ini relatif masih cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam rangka stabilisasi nilai tukar.
Selain cadangan devisa, BI juga memiliki second line of defense berupa fasilitas pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF), perjanjian kerja sama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line dari The Fed.
Baca juga: Sektor Saham Ini Bakal Raup Untung di Tengah PSBB Jakarta
Ketiga, Piter menyarankan agar pemerintah menerbitkan SUN global ketika tekanan wabah virus corona mulai mereda.
"Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SUN global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik, dengan tenor yang wajar," ujarnya.
Pemerintah telah memutuskan menambah stimulus untuk menanggulangi dampa penyebaran virus corona. Total tambahan anggaran tersebut mencapai Rp 405 triliun atau setara 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca juga: Gubernur BI: PSBB Bawa Sentimen Positif untuk Investor
Tambahan anggaran ini ditujukan untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, insentif perpajakan dan pemulihan ekonomi nasional.
Dengan tambahan ini Indonesia menjadi salah satu negara pemberi insentif terbesar di Asia secara persentase. Persentase insentif fiskal pemerintah lebih besar dibandingkan beberapa negara seperti Tiongkok (1,2 persen terhadap PDB), Korea Selatan (0,8 persen), ataupun India (0,5 persen), namun angka ini lebih kecil dibandingkan Thailand (3 persen) ataupun Malaysia (17 persen).
Sayangnya tambahan belanja ini diproyeksikan tidak bisa diimbangi oleh kenaikan penerimaan negara pada akhir tahun nanti. Pertumbuhan penerimaan negara akan jauh menurun dibandingkan tahun lalu, yang disebabkan oleh 2 faktor utama.
Baca juga: Hentikan Sementara Fitur Angkut Penumpang di Jabodetabek, Ini Kata Gojek
Dari luar negeri, harga sejumlah komoditas mengalami penurunan imbas dari melambatnya permintaan global termasuk harga minyak mentah yang anjlok di bawah 25 dollar AS. Selain karena melemahnya permintaan global, ini juga dipicu oleh gagalnya kesepakatan negara-negara produsen khususnya Arab Saudi dan Rusia untuk memangkas produksi minyak.
Dari dalam negeri, terjadi pelemahan permintaan domestik yang berdampak pada melambatnya aktivitas pada sektor-sektor penyumbang penerimaan negara. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sudah menunjukkan kontraksi sejak pertengahan tahun lalu, pada Maret 2020 bahkan anjlok lebih dalam hingga ke level 45.
Melambatnya sektor manufaktur akan berdampak pada penerimaan perpajakan, karena sektor ini menyumbang sekitar 30 persen dari total penerimaan pajak. Kombinasi kedua faktor ini diprediksi akan menekan penerimaan negara sampai dengan akhir tahun nanti.
Baca juga: Boleh Beli Surat Utang di Pasar Perdana, BI: Tak Ada Mekanisme Khusus
"Core memprediksikan penerimaan Perpajakan akan berada di kisaran Rp 1.452 triliun-Rp 1.514 triliun. Jauh lebih rendah dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 1.462 triliun," katanya.
Kondisi ini akan mendorong pelebaran defisit anggaran yang diproyeksikan akan mencapai Rp 852 triliun atau setara 5,07 persen terhadap PDB.
Indonesia tidak sendiri, negara lain juga diprediksikan akan mengalami kondisi serupa. Malaysia misalnya dengan tambahan insentif sebesar 250 miliar ringgit Malaysia, defisit anggaran Malaysia akan berada dikisaran 4,5 persen terhadap PDB, lebih tinggi dibandingkan defisit pada tahun lalu yang mencapai 3,4 persen.
Bahkan Perancis berencana meningkatkan defisit anggarannya hingga 7 persen.
Baca juga: Mulai Hari ini, Ojek Online di Jakarta Tak Boleh Bawa Penumpang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.