Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nufransa Wira Sakti
Staf Ahli Menkeu

Sept 2016 - Jan 2020: Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan.

Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak

Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tak Membuat Penyelenggara Negara Kebal Hukum

Kompas.com - 13/04/2020, 06:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 31 Maret 2020.

Kehadirannya membawa polemik di masyarakat terutama adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara. Bahkan sudah ada lembaga yang hendak menggugat Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU.

Anggapan seolah-olah adanya kekebalan hukum tersebut adalah terkait Pasal 27 Perppu 1/2020 Pasal 1, 2 dan 3.

Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara.

Untuk melihatnya secara keseluruhan kita lihat satu per satu secara lengkap.

Pertama, Perppu dikeluarkan karena suasana genting dan kebutuhan mendesak

Perppu 1/2020 dikeluarkan karena pemerintah menganggap adanya kegentingan yang memaksa disebabkan adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.

Kegentingan yang memaksa adalah timbulnya Pandemi yang disebabkan oleh Corona Virus Desease – 2019 (Covid-19) yang per 12 April 2020, jumlah kasus positif Covid-19 sudah mencapai 1.775.586 dan dari jumlah itu, sebanyak 108.558 meninggal.

Sementara di Indonesia Sabtu (11/4/2020), jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 3.842 kasus dan sebanyak 327 meninggal dunia.

Kemudian pemerintah mempertimbangkan bahwa Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan.

Dengan pertimbangan tersebut diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

Tiga fokus utama penyelamatan negara dari pandemi Corona tersebut di atas menyebabkan adanya kebutuhan tambahan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun dan anggaran tersebut belum ada dalam APBN 2020.

Tambahan anggaran tersebut diperhitungkan dalam penganggaran dan akan terdapat pembiayaan defisit yang melampaui 3 persen  (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Hal itu tentu saja membuat situasi menjadi mendesak untuk mengganti (sementara) UU Keuangan Negara yang membatasi defisit belanja negara maksimal 3 persen dari PDB.

Selain itu, keadaan mendesak juga diperlukan untuk pemberian kewenangan bagi Pemerintah agar dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocusing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi.

Dasar hukum dari kegentingan yang memaksa dan kebutuhan mendesak adalah berdasarkan Pasal 22 ayat UUD 1945 disebutkan bahwa “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Hal yang dianggap genting dan memaksa dalam UUD 1945 tersebut disebutkan parameternya dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam ayat 1 yaitu karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com