Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca dari Zimbabwe, Ini Sederet Risiko Jika RI Cetak Uang Terlalu Banyak

Kompas.com - 05/05/2020, 18:17 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa hari lalu, Badan Anggaran DPR RI mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun. Cetak uang lebih banyak, bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus Corona (Covid-19).

Tak cuma DPR, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, juga mendukung wacana yang dilontarkan para wakil rakyat tersebut. Bahkan menurut versi Gita, uang yang dicetak diusulkan jauh lebih besar, sebanyak Rp 4.000 triliun.

Wacana cetak uang baru dilontarkan setelah melihat defisit APBN yang melebar di atas 5 persen dari sebelumnya hanya 1,75 persen.

"Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM," jelas Gita.

Baca juga: Eks Mendag Gita Wirjawan Usulkan BI Cetak Uang Rp 4.000 Triliun, untuk Apa?

Gita yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Pertimbangan Kadin itu berpendapat, BI tak perlu khawatir soal melemahnya rupiah di hadapan mata uang negara lain. Pasalnya, banyak negara kini mencetak uang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi dalam negerinya.

Dia juga menepis kekhawatiran banyak pihak adanya moral hazard dalam pencetakan uang. Menurutnya kunci penting penyaluran uang tersebut ke masyarakat yakni dengan memperketat koordinasi pusat dan daerah dalam menentukan kanalisasi penyaluran bantuan.

Dia meyakinkan BI bahwa kebijakan pencetakan uang dianggap sebagai satu-satunya alternatif untuk mencapai likuiditas yang dibutuhkan negara saat ini.

"Harus ada kebijakan tidak biasa yang harus diambil pemerintah, yakni pencetakan uang. Meski diakui bertentangan dengan apa yang diajarkan selama ini," ujar pria yang pernah berkarir di Goldman Sachs ini.

Baca juga: BI Ogah Cetak Uang Tambahan untuk Suntik Likuiditas, Ini Alasannya

Indonesia sendiri sebenarnya punya catatan sejarah mencetak uang lebih banyak saat terjadi krisis, tepatnya di era Presiden Soekarno. Saat itu, uang yang dicetak tersebut banyak digunakan untuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Monas, GBK, hingga Hotel Indonesia. 

Berikut sederet risiko jika Indonesia mencetak uang terlalu banyak:

Inflasi tinggi

Jika tak bisa dikendalikan, cetak uang yang terlalu banyak bisa memicu inflasi yang tinggi yang pada akhirnya bisa merugikan masyarakat. Uang yang beredar akan semakin banyak, membuat nilai uang terus-menerus berkurang yang membuat harga-harga barang melambung.

 

Kondisi demikian akan lebih parah jika negara tak berhenti mencetak uang, sementara permintaan maupun produksi barang/jasa berkurang, khususnya saat situasi krisis.

Nilai tukar anjlok

Nilai tukar uang asing sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar. Bertambahnya rupiah bisa berakibat turunnya nilai kurs. Apalagi, rupiah bukan mata uang yang bisa diterima di dunia seperti dollar AS atau yen Jepang.

Baca juga: Saat Pandemi Corona Buat Gerak Inflasi Jadi Tak Biasa

Sebagai contoh, di Zimbabwe, selain terjadi hiperinflasi, nilai mata uang negara tersebut sudah hampir tak bernilai untuk membeli kurs asing.

Zimbabwe pernah mengalami inflasi hingga 11,250 juta persen bahkan pernah menyentuh 231 juta persen pada 2008. Tingginya angka inflasi mendorong negara ini melakukan redenominasi mata uang, dengan menyederhanakan uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.

Utang luar negeri membengkak

Risiko utang luar negeri yang naik tajam merupakan efek domino dari anjloknya mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Semakin nilainya merosot, maka otomatis membuat utang luar negeri bisa semakin membengkak.

Bank Indonesia berbeda dengan bank sentral AS Federal Reserve yang dapat dengan bebas mencetak dollar AS. Mata uang Negeri Paman Sam dipakai oleh sebanyak 85 persen transaksi ekspor-impor dunia, sedangkan rupiah tidak diakui mata uang yang dipakai secara internasional.

Baca juga: BI: Inflasi April 0,18 Persen, Bawang Merah Jadi Penyumbang Terbesar

PHK besar-besaran

Jumlah uang yang beredar terlalu banyak bisa membuat daya beli masyarakat anjlok. Ini terjadi saat uang yang beredar tak sebanding dengan produksi barang/jasa.

Karena lemahnya daya beli masyarakat, banyak perusahaan terpaksa menurunkan atau menahan produksi mereka yang berimbas pada langkah pengurangan karyawan.

Selain itu, hal ini dipandang investor sebagai risiko, sehingga mereka juga tak tertarik berinvestasi di Indonesia. Dalam kondisi parah, investor akan menarik modalnya di Indonesia.

Respon Bank Indonesia

Sebelumnya Bank Indonesia (BI) memberi indikasi tak akan mencetak uang tambahan utuk menambah dana atau likuiditas perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, salah satu pertimbangannya, bank sentral tidak ingin mengulang kasus mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998. Hal ini menyebabkan inflasi tinggi hingga 67 persen.

 

"Waktu BLBI dulu, salah satunya BLBI-nya kan bank sentral mengedarkan uang, penggantinya dikasih surat utang pemerintah, surat utang pemerintahnya tidak kredibel, tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol," kata jelas Perry ketika memberikan penjelasan kepada anggota Komisi XI DPR RI secara virtual.

Baca juga: Bawang Merah hingga Gula Pasir Jadi Pemicu Inflasi April 2020

"Kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas, Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang," tambah dia.

Sebagai informasi, metode pencetakan uang berlebih oleh bank sentral disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT). Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.

Perry pun mengatakan, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lainnya demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

"Esensinya beda dengan pencetakan uang. Kalau pencetakan uang, bank sentral menambah uang beredar, tapi tidak mampu menyerap kalau nanti kelebihan likuditas," ujar Perry.

Selain itu, BI kini mengambil langkah perluasan operasi moneter demi menambah likuiditas.

Baca juga: Tanda Tangan Digital dan Cara Perusahaan Asuransi Bertahan di Tengah Covid-19

Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat Pandemi Covid-19.

"Beda dengan yang kita lakukan sekarang, operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Itu yang kami sebut dengan quantitative easing," kata Perry.

Saat ini, Perry melanjutkan, pembiaayaan melalui SBN juga dilakukan secara hati-hati atau prudent. Imbal hasil SBN juga tak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter.

"Yield SBN enggak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter dan harus kredibel sekarang perlu digelontorkan. Tahun depan kelebihan kami juga harus menyerap. Itu adalah kaidah-kaidah yang prudent, masalah beda cetak uang dengan quantitative easing," kata dia.

(Sumber: KOMPAS.com/Ade Miranti Karunia, Mutia Fauzia | Editor: Yoga Sukmana, Erlangga Djumena)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com