Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuna dan Sidat Indonesia Berpotensi Diekspor ke Jepang, tetapi....

Kompas.com - 19/05/2020, 16:44 WIB
Yohana Artha Uly,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

 

Padahal Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat  Indonesia yang merupakan negara penghasil tuna terbesar di dunia, yakni sekitar 375.000 ton tiap tahunnya.

Pasokan tuna di Jepang paling besar berasal dari Taiwan sebesar 68.000 ton, China 33.000 ton, dan Korea Selatan 19.000 ton.

Baca juga: Bank Ikan Jaga Laut Wakatobi hingga Dapat Penghargaan dari New York

Menurut Suyoto, ketiga negara tersebut memiliki penanganan pasca tangkap yang baik, sehingga produknya sesuai standar Jepang. Di mana usai ditangkap, ikan-ikan tersebut segera di bersihkan tanpa perlu tunggu mendarat ke tepi.

Berbeda dengan Indonesia yang memang perlu perbaikan pasca tangkap, di mana umumnya ikan hasil tangkapan dikirim dalam keadaan beku utuh.

"Mereka (nelayan Indonesia) biasanya baru memproses ikan setelah mendarat. Padahal mendarat itu kadang-kadang bisa seminggu bahkan dua minggu. Itu membuat Jepang enggak mau terima, karena Indonesia biasanya ekpsor dalam bentuk beku utuh," jelasnya.

Terkait sidat, pasar Jepang kekurangan lebih dari 100.000 ton per tahun.

Baca juga: Ikan Tuna Berhasil Dilelang di Harga Rp 24 Miliar

Lantaran, jenis-jenis sidat yang banyak dikonsumsi Jepang selama ini sudah mulai berkurang dan ada yang sudah hampir punah, seperti Japonica.

Untuk menggantikan itu, sidat Bicolor menjadi salah satu alternatif karena memiliki rasa dan kelenturan daging yang mirip sidat Jepang. Jenis sidat ini terbanyak ada di perairan Indonesia, utamanya di pesisir pulau Jawa bagian selatan, Sumatera bagian barat.

"Sayangnya Indonesia belum punya teknologi atau budidaya (sidat) yang bisa diterima di jepang, begitu juga soal pengolahannya," kata Suyoto.

Baca juga: Jepang Pernah Penuh Sampah, Kok Bisa Berubah Jadi Bersih?

Permasalahan dalam hal budidaya, sidat Indonesia memiliki tingkat kelangsungan hidup (SR) rendah dan belum disukai pasar Jepang, terutama terkait bau, kelenturan daging, dan kulit tebal.

Dalam hal pengolahan, sidat asal Indonesia yang di masak harganya lebih murah dan kurang laku di pasar Jepang. Jika ada produk pilihan sidat asal China dan Taiwan, konsumen Jepang akan lebih memilihnya meskipun harga lebih mahal.

"Jadi Jepang itu menerima sidat hidup tapi bukan dari Indonesia, yang mereka bisa terima dari China dan Taiwan," katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com