Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memanen Untung dari Sayur Hidroponik, Bisnis yang Kebal dari Covid-19

Kompas.com - 20/05/2020, 07:12 WIB
Muhammad Idris

Penulis

SAMARINDA, KOMPAS.com - Suka tidak suka, penyebaran pandemi wabah virus corona (Covid-19) membuat banyak waktu saat ini lebih banyak dihabiskan di rumah. Lalu, kondisi saat ini juga mendorong gaya hidup dengan pola makanan sehat dan segar semakin diminati.

Kedua hal itu belakangan jadi pemicu tren berkebun sayur di lahan rumah semakin banyak dengan metode hidroponik. Para pakar bilang, hidroponik juga jadi obat stres bagi mereka yang terlalu lama berdiam di rumah.

Jauh sebelum Covid-19, Ginanjar Ibnu Tamimi, sudah lama terjun menggeluti usaha hidroponik. Dia menyulap lahan kosong di Harapan Baru, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, jadi kebun sayur bertingkat.

Bukan kegiatan paruh waktu, melainkan jadi usaha yang ditekuninya sebagai profesi utama karena peluangnya yang menjanjikan. Dia yakin, sayuran hidroponik bakal semakin diburu seiring meningkatkan kesadaran pola hidup sehat.

Baca juga: WFH Ala Jonan: Bertani Sayur Mayur Hidroponik di Rumah

"Ada corona, semakin banyak yang cari sayur hidroponik. Penjualan sayur naiknya terasa sekali, terutama pembelian lewat online di Kota Samarinda. Bahkan, saat ini juga banyak pesananan instalasi hidroponik di rumah-rumah ke saya," kata Ginanjar kepada Kompas.com, Rabu (20/5/2020).

Kualitas sayur yang lebih baik membuat harga sayuran hidroponik relatif lebih mahal. Namun, faktor itulah yang membuat sayur-mayur yang dihasilkan dari kebun hidroponik memiliki segmen pasar tersendiri.

sayur hidroponikGinanjar sayur hidroponik

Menurutnya, kesadaran orang akan hidup sehat saat pandemi Covid-19 membuat permintaan sayuran dari kebun hidroponik meningkat. Berbeda dengan sayuran yang dijual di pasar, hidroponik menghasilkan sayuran yang relatif lebih segar dan bebas pestisida.

"Selain dari perorangan, pembeli banyak juga dari restoran-restoran dan beberapa hotel. Kalau ke swalayan belum masuk, karena harus kontinu. Saya sendiri berencana memperluas kebun," ucap Ginanjar yang saat mengelola kebun seluas 20x15 meter yang dibantu dua orang tenaga kerja.

Baca juga: Kisah Mantan Satpam Lolos Jadi Anggota DPRD Berkat Tanaman Hidroponik

Ginanjar yang biasa memanen sayur sepekan sekali ini bisa menjual hingga 400 kilogram berbagai jenis sayuran dalam sebulan. Beberapa sayuran yang dihasilkan di kebunnya antara lain kale, selada, dan berbagai jenis sawi seperti pakchoy, caisim, dan sawi putih.

"Primadona saat ini kale, harganya per kilogram bisa sampai Rp 120.000. Lalu selada Rp 40.000, sawi saya jual Rp 35.000. Meski lebih mahal dari sayuran di pasar, sayur hidroponik semakin banyak dicari," tuturnya.

Untuk penjualan, Ginanjar mengandalkan penjualan langsung dan promosi via online, khususnya lewat Instagram. Selain sayuran, pria kelahiran 17 Oktober 1989 ini juga berencana menanam buah-buahan di kebun hidroponik miliknya.

Di awal merintis usahanya, dia sempat mencoba menjual panen sayurnya ke pasar. Namun rupanya kurang diminati karena faktor harga. Kualitas sayur hidroponik memang lebih bagus, karena kesegarannya bisa bertahan berhari-hari dibandingkan sayur yang sama yang dijual di pasaran.

"Pernah coba jual di pasar, buat lapak di halaman parkir. Terus malah ditertawakan, jual sayur masih ada akarnya. Saya jual Rp 10.000 satu ikat, sementara di dalam pasar sayur yang sama harganya Rp 3.000-5.000 per ikat. Tapi ternyata memang kurang diminati," ujarnya.

Modal bisnis hidroponik

Selama pandemi virus corona, selain penjualan sayur meningkat, banyak orang memesan instalasi hidroponik skala rumahan sebagai kebun mini di teras rumah.

"Jadi saya juga melayani instalasi, banyak sekali permintaannya. Karena banyak orang berdiam di rumah, jadi supaya ada kegiatan yang positif, dilakakun dengan menanam sayur hidroponik," kata dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com