Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BPJS Kesehatan, Badan Nirlaba yang Terus Dirundung Defisit Sejak 2014

Kompas.com - 20/05/2020, 10:13 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memasuki tahun ketujuh di tahun 2020. Berbagai persoalan terus mewarnai pelaksanaan Program JKN, meskipun faktanya telah banyak rakyat Indonesia yang tertolong oleh program ini.

Ibarat besar pasak daripada tiang, biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk klaim selalu jauh lebih besar ketimbang penerimaan dari iuran kepesertaan. Untuk menambalnya, pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

Padahal, sebelumnya dalam putusan pada 31 Maret 2020, Mahkamah Agung (MA) sudah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibuat pemerintah pada 2019.

Kebijakan kenaikan iuran baru ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Ini Tanggapan DJSN

"Proyeksinya kalau nanti Perpres 64 ini berjalan, kita hampir tidak defisit. Kurang lebih bisa diseimbangkan antara cash in dan cash out," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris seperti dikutip Rabu (20/5/2020).

Mengutip data Litbang KompasDefisit pada tahun 2014 tercatat sebesar Rp 1,94 triliun, lalu di tahun 2015 defisit 4,42 triliun. Tahun 2016 defisit tempat turun menjadi 150 miliar, sebelum kemudian defisitnya membengkak menjadi Rp 10,19 triliun, dan 2018 kembali defisit 12,33 triliun.

Kenaikan mulai berlaku pada 1 Juli 2020. Dalam Pasal 34 Perpres yang ditandatangani pada 5 Mei 2020 itu disebutkan tarif BPJS Kesehatan 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta kelas I naik dari Rp 80.000 jadi Rp 150.000 per bulan.

Iuran peserta kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Juli 2020 (iuran BPJS 2020). Sementara iuran peserta kelas III segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) jadi Rp 42.000 per bulan.

Fachmi menjelaskan, kewajiban pembayaran klaim tersebut perlahan-lahan telah dilunasi oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit hingga tinggal menyisakan utang yang jatuh tempo sebesar Rp 4,8 triliun.

Baca juga: Enggak Kuat Bayar Iuran, Berikut Syarat Turun Kelas BPJS Kesehatan

Dengan adanya subsidi pemerintah kepada peserta mandiri kelas III yang dibayarkan di muka kepada BPJS Kesehatan sebesar RP 3,1 triliun, utang jatuh tempo tersebut bisa segera diselesaikan.

Fachmi menerangkan, apabila pemerintah tidak menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang memperbaiki struktur iuran peserta, dikhawatirkan bisa terjadi defisit keuangan pada BPJS Kesehatan yang akan berdampak pada keberlanjutan program JKN-KIS.

"Kalau tidak diperbaiki struktur iuran sebagaimana keputusan seperti sekarang, itu akan terjadi potensi defisit. Dan tentu kita tidak ingin program ini tidak berkelanjutan," kata Fachmi.

Jika tak dibenahi, menurut Fachmi, defisit bisa mencapai Rp 77 triliun pada 2024.

Klaim penyakit katastropik membengkak

Sementara itu dikutip dari data Harian Kompas, penyebab defisit BPJS Kesehatan antara lain besarnya beban jaminan kesehatan yang harus dibayarkan untuk penyakit katastropik atau penyakit yang berbiaya tinggi yang sebenarnya dapat dicegah.

Beberapa penyakit katastropik yang berbiaya besar tersebut adalah jantung, kanker, stroke, diabetes, dan gagal ginjal.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com